Setelah merenung tidak sampai dua puluh empat jam dalam suasana temaramnya kamar, melalui pertarungan sengit antara kulit sintetis dengan bahan canvas, akhirnya canvas keluar sebagai pemenangnya. Meskipun kulit sintetis tetap akan aku pakai sebagai detail pemikat. Salah satunya pada handle.
Dari sketsa yang kubuat, tidak banyak bahan bodi yang aku butuhkan. Sebab ukuran tas yang aku inginkan hanya 24×16×10. Aku telah membayangkan jenis mini bag biar menjahitnya tidak terlalu lama. Tetapi aku pikir juga begini, berdasarkan pengalaman beberapa bulan belajar di sini, bahwa lama atau tidaknya menyelesaikan sebuah tas bukan semata karena ukuran tas itu. Tergantung seberapa banyak detail, seperti kantong, aksesoris tambahan pada bodi untuk estetika tas agar tampak tidak polos-polos saja, itu juga penentu durasi menjahit. Semangàt pun berperan besar dalam menyelesaikan tugas pembuatan tas ini. Aku tersenyum sendiri. Celah kecil dari fentilasi jendela membuat wajahku seperti ditiup-tiup.
Seperti tas brand terkenal, mungkin modelnya persegi, tetapi seorang desainer memberikan detail pada bodi depan yang mirip belt lalu diberi kneeper yang mewah sehingga tampak elegan sekali. Namun fungsinya bukan semata detail, aksesoris atau pemanis, tetapi ternyata kehadirannya berfungsi ganda. Ya, sebagai kunci agar flat tas tersebut tidak bisa terbuka tanpa membuka kunci aksesoris itu. Wah! Luar biasa desainernya memikirkan hal ini.
Lalu apa gagasan aku menghadirkan sesuatu yang unik, tetapi berfungsi pada tas buatanku nanti? Jangan-jangan hanya gaya saja. Aku tertawa lagi kemudian berpaling kepada Rara yang menutup wajahnya dengan bantal. Rara tidak menggunakan bantal pelapis kepalanya, tapi ia menggunakannya untuk menutupi wajahnya. Kadang Rara tersengal karena kekurangan udara. Sekali waktu aku kasih tau tentang kebiasaannya itu. Ia bilang sudah terbiasa. Ya, sudahlah.
Kembali lagi, apa yang akan kuberikan bagian bodi tas aku nanti? Masak kosong melompong begitu?
Biasanya jika kulit dipadu dengan bahan lain, maka kulit itulah yang menjadi bahan dominasi. Ini malah jadi detail. Tapi aku akan mencoba membalik perspektif itu. Dan tentunya pemikiranku itu, akan aku yakinkan dengan karya nyata.
Aku tersenyum memandang sketsaku. Seolah-olah itu adalah tas yang sudah selesai. Insya Allah, aku akan membuat karya yang sebaik-baiknya.
Sebenarnya model yang aku rencanakan itu sederhana. Model tote bag. Mirip punya Kak Fitri. Kak Fitri tas nya berbentuk persegi sempurna. Nah, aku ingin membuat seperti itu. Tetapi kedua bagian bawahnya tidak menyudut. Akan kubuatnya melingkar dengan memakai lingkaran berdiameter enam belas. Mungkin.
Kemudian pada kedua gussetnya ada kaitan ring D. Kira-kira akan lebih bagus memakai kulit seperti handle. Ya, hanya itu.
Sebenarnya bahan canvas di lemari hanya ada satu jenis. Padahal yang aku tahu dua. Canvas lokal dan canvas luar negeri. Bedanya terletak pada teksturnya. Canvas luar negeri lebih halus dan lembut saat dipegang dari pada canvas dalam negeri.
Itu aku ketahui setelah membuka sebuah artikel yang membahas banyak hal tentang model dan bahan yang dipakai oleh berbagai desainer. Tentu dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Aku penasaran dengan canvas luar negeri itu.
"Bismillah. Aku akan mulai besok."
Lalu aku tertidur.
Ketika aku bangun setengah lima pagi, Miranda dan Ina sudah memeluk mukena. Mereka sudah berdiri di ambang pintu kamar.
"Kalian menungguku? Kenapa tidak dikasih bangun?"
"Kami sebenarnya mau kasih bangun takutnya kamu masih mau tidur, Nisa. Semalam, kan, kamu begadang," kata Ina.
"Begadang? Hei! Kalian lihat aku?"
"Perhatikan sih, tidak juga. Pas mataku terbuka aja aku masih melihat kamu duduk di kursi. Pake apa sih? Penerang hp ya, Nis?" tanya Miranda.
Aku mengangguk lalu segera mengambil air wudu.
Kami meninggalkan kamar. Kulihat Rara bangun dengan jalan agak sempoyongan lalu menutup pintu kamar. Tak lupa aku bawa dompet kecilku.
Pulang dari musala langit sudah lumayan terang. Tadi ada kultum dari Ustazah Mila. Satu hal yang tertinggal di benakku dari kultum tadi adalah masalah utang piutang. Usahakan kamu jangan berutang kecuali dengan niat ingin segera melunasi.
Saatnya aku menuju gazebo. Ini tidak bisa aku tunda lagi. Tanpa mengatakan apa pun aku segera menggandeng tangan Miranda dan Ina menuju gazebo. Aku pikir ini adalah waktu yang tepat. Namun begitu kami berada di belokan jalan, Ina tiba-tiba berhenti berjalan.
"Enggak seru. Rara enggak ada".