ALMIRA

Andi Sukma Asar
Chapter #21

Bab 21. Sebuah Nelangsa


Kelas yang awalnya riuh tiba-tiba menjadi hening. Seorang wanita cantik paruh baya sudah berdiri di depan kelas.


"Anak-anakku semua, Ibu hadir di sini tidak lama. Hanya Ibu akan menyampaikan terkait dengan festival karya, ya. Penilaian nantinya akan sangat relatif. Ibu sampaikan secara terang-terangan kepada kalian bahwa berkaryalah dengan jujur, gembira dan rapi. Kenapa Ibu katakan begitu? Karena kita akan menghadapi festival nasional sebulan lagi. Karya kalian yang paling bagus tentu akan kami ikutkan dalam festival itu. Ibu akan sangat bangga jika pada tahun ini ada salah satu bahkan beberapa karya diantara kalian yang bisa mewakili sekolah kita. Khususnya dalam desain tas. Pengalaman pada tahun-tahun yang lalu, festival craft didominasi desain busana. Selebihnya desain tas yang meliputi satu persen dan desain sepatu juga satu persen. Ini peluang buat kalian untuk berkarya lebih bagus."


"Bu, boleh bertanya?" Suara lantang Ilham membuat Ibu Marni tersenyum.


"Boleh. Siapa namanya?" Ibu Marni berjalan ke bangku dekat pintu kelas.


"Ilham, Bu."


"Silakan, Ilham. Mau bertanya apa saja boleh."


"Bu, apakah di sini menyediakan fasulitas merk? Emm, merk dari kain pun boleh. Yang pasti ada brand dalam produk aku, Bu."


Ibu Marni tersenyum. Ia memahami keinginan Ilham. Mungkin juga Ibu Marni mengingat keinginanku.


"Fasilitas seperti itu belum ada di sekolah kita, Ilham. Tapi jika kita butuh untuk itu, ada tempat kita bekerja sama. Itu tahap akhir setelah kita menentukan siapa juara dan akan diikutkan di festival craft, kita harus membuatkan merk untuk memperkenalkan karya kalian kepada khalayak."


Tepuk tangan langsung bergemuruh. Semua wajah bergembira, tak terkecuali Maya. Padahal Maya kini sedang bersedih.


"Satu hal yang Ibu sangat harapkan adalah kebersihan dan kerapian karya kalian, ya. Ibu tidak mentolerir karya yang asal jadi. Anggaplah kalian ini bekerja sebagai desainer yang sudah jadi, sudah matang, sudah profesional dan sudah punya nama. Ok, Anak-anak?"


Setelah memandang kami, Ibu Marni meninggalkan kelas. Kami sangat terharu mendengan motivasi sekaligus cambuk keras Ibu Marni.


Saatnya mengeksekusi.

Aku segera memisahkan bahan bodi dan lining agar tidak salah ambil. Beberapa kali pernah terjadi hal seperti itu dan itu sangat mengesalkan.


"Nisa, boleh aku kasi masukan?" Maya yang tadinya diam-diam kini mendekatiku. Malah ia duduk di sampingku.


"Aduh! Ini sudah mau mulai malah dikasih masukan," kataku dalam hati. Tetapi jujur aku senang mendengar masukan Maya.


"Boleh dong, May. Apa?"


"Emm, bagaimana kalau kantong resleting luar itu kamu ganti saja dengan kantong biasa, tanpa resleting." Ia tersenyum. Mungkin ia sedang membayangkan usulannya itu.


"Maksudnya, May?"


"Gini, tas pake resleting luar itu sudah biasa kita lihat tuh. Lagi pula, kerjanya lumayan ribet. Nah, bikin saja kantong di dua sisi bodi dengan mengikuti model bodi bagian bawah." Lalu Maya mengambil pensil dan kertas kemudian menggambar model tas aku. Setelah itu Maya menjiplak model itu kembali kemudian ia kurangi ukuran bagian atasnya. Jarak dari bibir tas kira-kira empat senti sedangkan samping kira-kira dua senti.


"Gimana, Nisa?" Maya memandang aku sambil tersenyum.


Aku mengangguk sambil berpikir maksud Maya. Aku selalu kagum sama ide si Maya sebenarnya. Dan lebih kagum lagi ia mau memberiku masukan seperti itu. Jarang lho, ada yang seperti Maya. Ini beneran keren. "Tapi bagaimana dengan handlenya, May?" Aku masih bingung.


"Nah, sini, Nis. Di sinilah letak keunikan karyamu nanti. Handle nya nanti sekaligus menjadi penutup bagi sisi kantong tadi. Jadinya miring mengikuti model kantong deh. Gimana, Nisa, setuju? Kalau enggak setuju enggak apa-apa, Nis. Ini cuma usulan yang tiba-tiba ada di kepalaku tadi."


Lihat selengkapnya