ALMIRA

Andi Sukma Asar
Chapter #22

Bab 22. Akhirnyaaa ....

Senang sekali bisa melakukan dua hal. Pertama aku sudah berhasil menempelkan namaku, nama Miranda, Ina dan Rara pada masing-masing pilar di gazebo. Meskipun ukuran font yang kecil, itu adalah tulisan tanganku sendiri. Empat pilar tertulis nama kami dan satu pilar tengah yang menjorok ke atas aku tulis singkatan nama kami: ALMIRA serta cita-cita dan harapan kami berempat. Nama Maya aku batalkan saja karena kami tidak sekamar. Meskipun begitu, Maya sangat berarti bagiku. Ia sahabat yang baik, tidak banyak bicara tapi kadang memberikan bantuan tanpa aku minta.


Kedua, betapa leganya aku bisa menolong Maya walaupun nilainya tidak begitu besar. Aku bisa mengajak sekamarku ikut membantu Maya. Aku terharu dan bersyukur.


Setelah keluar dari kantin, aku langsung ke kelas. Rasanya waktu lamban berjalan. Aku ingin segera menyelesaikan tas ku.


"Selamat siang, Adik-adik. Bagaimana pekerjaannya? Ada yang selesai? Pasti belum, ya? Bekerjalah dengan tenang. Kebiasaan itu nantinya akan terbawa setelah kalian keluar dari sini," kata Kak Fitri dengan wajah penuh cahaya.


Aku tidak menjawab apa pun melainkan sudah sibuk di depan mesin jahit.


Setelah kemarin bodi selesai, maka selanjutnya adalah memasang kantong dalam. Bahan yang berukuran 20× 22 itu aku lipat dua kemudian dijahit sekeliling dengan menyisakan empat senti meter di tengah sebagai jalan untuk membalik. Selesai menjahit aku gunting keempat sudutnya agar tidak terlihat menebal setelah dibalik.


Aku mengambil resleting yang sudah aku gunting sepanjang 35 senti meter. Daun resleting aku pisahkan lalu kujahit terlebih dahulu kedua ujungnya. Kemudian aku bentangkan di atas kedua bahan lidah res untuk membuat sejajar dengan keduanya. Aku membuat jarak ujung resleting dan ujung lidah resleting satu senti meter saja. Setelah seimbang aku sematkan jarum pentul agar tak bergeser. Selanjutnya ditimpa dengan support resleting berupa lining. Aku sematkan pentul lagi sebanyak tiga. Biar lebih bagus posisinya.


Sekarang saatnya menjahit tiga bidang. Lalu dijahit tindas. Selesailah proses pada item resleting. Tidak lupa aku jahit bagian resleting yang lain.


Pekerjaan selanjutnya adalah menyambung panel resleting tadi pada lining, kemudian ditumpuk lagi dengan support resleting. Ketiganya disemat pentul agar posisinya tidak bergeser. Namun sebelumnya aku sudah membuatkan cekris pada masing-masing panel di bagian pertengahan agar ketiganya tetap pada posisi yang telah direncanakan.


Baiklah! Pekerjaan kita lanjutkan dengan memasang gusset. Namun sebelum itu ada potongan kecil dari bahan kulit akan dipasang di kedua ujung gusset ini. Pola ini sebenarnya dari gusset bodi yang dipotong kedua ujungnya. Nah, setelah dipotong dicetak pada bahan dengan menambah satu senti meter pada sekeliling tepinya. Kemudian dibalik lalu dijahit tindas. Selesai.


Dan pada proses penjahitan lining ini salah satunya harus diberi lubang untuk jalan lahiran nanti. Panjangnya kira-kira lima belas senti. Setelah proses jahit di bagian ini lining selesai, segera aku balik perlahan.


Lega bercampur sedikit letih. Aku ingin istirahat beberapa jenak. Minum dan menghela napas panjang. Sampai sejauh ini aku hanya dua kali berhenti untuk mendedel jahitan yang melenceng tidak pada jalur semestinya.


Kak Fitri yang datang berdiri di sampingku tidak berkata apa-apa. Ia mungkin tidak ingin membuyarkan konsentrasiku kalau aku diajak bicara atau bertanya sesuatu. Tetapi tidak bisa aku pungkiri, aku malah menjahit disertai rasa deg-degan bercampur senang. Perasaan apa namanya itu. Sesekali jika wajah ayah dan ibu melintas aku ingin berteriak memanggil mereka. Aku ingin mengatakan kepada mereka bahwa anaknya ini sudah bisa membuat tas sendiri.


Aku lanjutkan.

Lining yang telah aku balik dan rapikan akan segera dimasukkan ke dalam bodi utama. Namun setelah kurapikan tadi aku menemukan kantong dalam yang tidak lurus. Padahal ini sudah bagus jahitannya. Pada kedua ujungnya aku menjahitnya tiga kali agar kuat. Duh! Rasanya mau terbang saja sambil menangis. "Bongkar tidak, ya?"


Aku menatapnya lama sambil perasaanku terasa meraung-raung. Pikiranku bertarung antara bersikap profesional dan bersikap masa bodoh. Apalagi sudah letih begini.


Aku mengambil jeda ke toilet. Lewat kaca yang berukuran mini, aku memandang keluar. Menjauhkan pandangan mataku yang sejak tadi melihat jarak dekat.


Sekembali dari toilet aku memutuskan memperbaiki kantong itu. Aku tidak mau kepikiran terus bahwa hal yng aku sudah ketahui salah, aku tetap lanjutkan. Akhirnya aku kembali ke pekerjaan mendedel untuk yang ketiga kalinya pada hari ini. Tanganku sudah setebal ini rasanya. Untunglah jari-jariku masih aman. Mesin high speed ini memang harus super hati-hati. Jika pada awalnya menekan dinamo tidak pelan-pelan, maka pasti jahitan akan kebablasan ke mana-mana. Beruntung saja kalau bukan tangan yang ditindas.


Melihat kantong sudah selesai, aku tersenyum. Sebegitu leganya perasaan ini setelah melakukan perbaikan dari kesalahan yang tak seberapa. "Beneran lega."


Lihat selengkapnya