Aku minta izin kepada Kak Fitri agar tas buatanku ini aku bawa pulang ke kamar. Aku ingin memperlihatkan kepada Miranda, Ina dan Rara.
Kak Fitri mengangguk. Tapi hanya sebentar katanya. Selesai istirahat siang aku harus mengembalikannya lagi di kelas.
Saat di kantin, aku ceritakan kepada Miranda, Ina dan Rara bahwa aku akan bawa tas buatanku di kamar. Mereka begitu gembira. Lalu aku mengajak mereka segera keluar dari kantin menuju gazebo. Di sana kami duduk sebentar lalu berdoa agar kami berempat senantiasa diberi kesehatan dan kekuatan dalam berkarya. Itu saja. Mereka aku suruh menunggu di kamar lalu aku berlari kecil menuju kelas. Di kelas, aku memasukkan tas ke dalam goody bag yang telah disediakan oleh Kak Fitri.
"Wah! Cantik banget ini, Nisa! Kek buatan desainer beneran! Seru Miranda.
"Kan, Nisa sudah desainer beneran lho, Mir," kata Ina.
Lalu ketiganya ingin memegang bergantian. Tetapi aku larang. Tas itu aku letakkan di meja lalu mereka bergantian mendekat, mengamati dan memperhatikan detailnya. Aku tidak lagi meminta mereka mengeritik atau memberi masukan untuk sementara. Sebab masukan itu buat apa juga. Tak mungkin aku mengubahnya.
"Kamu pasti juara, Nisa!" Seru Miranda.
"Iya, kamu pasti juara, Nis!" Seru Ina.
"Kamulah sang juara, Nisa!" Seru Rara.
"Aku mengaminkan doa-doa kalian. Tetapi di kelas aku, karya teman-teman banyak yang lebih cakep."
"Pokoknya kamu harus juara, Nisa!"
Kami berempat akhirnya berkata aamiin. Aku terharu sekali mendapatkan dukungan seperti ini. Di kelas desain tas, hanya ada satu orang yang sebenarnya tidak begitu gembira terhadap karyaku. Bahkan sangat jarang kami menyapa. Ia selalu menatapku sinis setiap kami bertemu. Tapi aku tak peduli. Tidak mengapa jika ada seseorang yang tidak suka kepadaku. Ia bernama Nova. Sejak pertama kali bersama di kelas, wajahnya tidak pernah menyenangkan kepadaku. Bahkan pernah di hari-hari pertama di kelas, ia pernah merendahkan aku. Mungkin dari pakaianku yang sangat sederhana. Sampai sekarang pun Nova belum akrab denganku. Entah mengapa ia bersikap seperti itu kepadaku. Padahal kepada teman-teman yang lain si Nova bersikap sangat riang.
*
Saatnya aku kembalikan tas ke kelas. Dan pada saat hampir masuk kelas, ada pemberitahuan dari ponselku bahwa ayahnya Maya tidak bisa lagi diselamatkan. Penyakit jantungnya sudah parah. Tanpa terasa titik-titik air mataku menggenangi kedua mataku. Maya juga berpesan agar berita ini tidak usah aku sebarkan. Maya memang seperti itu. Aku terhenyak di samping pintu kelas. Lalu aku segera masuk ke kelas menyimpan tas. Aku segera berlari ke kamar. Mungkin masih ada Mira, Ina dan Rara di sana. Namun setelah sampai di kamar, ketiganya sudah tidak ada. Aku lalu mencarinya di gazebo. Tidak ada juga. Aku akan bilang sesuatu di grup wattsap kami, tapi kamar sudah ditutup. Entah siapa tadi yang memegang kunci. Ponselku ada di kamar.
Akhirnya aku menemui Rara dan Ina di depan kelasnya. "Ayah Maya meninggal dunia," kataku pelan.
Ina dan Rara terhenyak. "Jadi apa yang akan kita lakukan?" tanya Rara.
Aku terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa. "Kita ucapakan belasungkawa kepada Maya saja dulu. Ayo, mana hp kamu, Nis?"
"Di kamar. Entar aja. Ini hampir masuk kelas," kataku.
Di kelas, kesedihanku terhadap Maya masih berkelebat. Ah, aku berdoa dalam hati semoga Maya tabah menghadapi cobaan.
Ternyata karya teman-teman sudah selesai. Semua karya diletakkan di etalase kaca. Dan sudah diatur sedemikian rupa beserta nama pembuat masing-masing.
"Sebentar lagi Ibu Marni dan seorang crafter tamu akan datang menilai karya Adik-adik," kata Kak Fitri.
Aku mengerutkan dahi. "Oh, ada crafter tamu? Siapa, ya?"
Tidak lama kemudian, suara langkah kaki yang cepat terdengar semakin mendekati kelas. Tak sabar rasanya ingin mengetahui karya siapa yang akan diikutkan pada pekan crafter nasional. Namun yang paling penting adalah apresiasi Ibu Marni pada karyaku. Itu yang aku harapkan. Kritik dan saran aku tunggu dari Ibu Marni.