Aku, Ilham dan Nova sudah berada di ruangan karantina di lantai dua. Ya, namanya saja karantina sebab kami bisa pulang ke kamar sebelum masuk waktu magrib.
"Selamat sore, Adik-adik." Sebuah suara membuatku terhenyak. Aku tidak berpaling dari sumber suara yang baru saja menggema di ruangan ini sebab aku sudah tahu pemilik suara itu. Dan akan masuk ke ruangan ini. Namun pada akhirnya aku membalikkan tubuh setelah Ilham mengingatkan aku.
Salah seorang di antara kami bertiga ditunjuk oleh Ardi untuk membagikan lembaran kertas kepada kami bertiga. Ya, Ilham.
Melihat isi lembaran kertas yang dibagikan Ilham ternyata berupa format yang akan diisi lengkap. Ada nama, model tas yang diinginkan, bahan yang diinginkan serta harapan dalam menapaki dunia desain. "Sudah basi sebenarnya mengisi hal seperti ini. Berasa dibagikan LKS di sekolah. Dan kamu sudah tahu apa yang akan aku tulis sebenarnya, Ardi."
Aku bergantian memandang lembaran kertas dan kepada Ardi. Entah apa yang dipikirkan Ardi. Mungkin masa SMA kami. Aku jadi tertawa kecil memandang wajahnya yang sok tidak kenal. Ingin menarik rambutnya yang dari dulu selalu kaku karena jelly, selalu mengkilap dan tak pernah berantakan.
*
"Semoga suatu waktu nanti kita berjumpa di tempat yang menyenangkan kita berdua, Nisa," kata Ardi. Ia menggulung lengan bajunya lalu memperlihatkan namaku yang sudah ia tulis dengan tinta di lengannya bagian atas.
"Aku tetap pada cita-citaku semula, Nisa. Menjadi seorang desainer." Lalu Ardi pergi. Setelah itu tidak ada lagi pertemuan selanjutnya. Ia pergi seakan menghilang ditelan bumi.
*
"Hm, apakah Ardi mau memperlihatkan lengannya kepadaku? Masih adakah goresan namaku di sana?"
"Setelah Adik-adik mengisi format itu, aku akan mendengar penjelasan langsung keinginan-keinginan kalian. Jadi aku bisa membantu apa saja yang ingin kalian ciptakan. Aku di sini bukan lagi mengajari, tetapi memberikan respon dan membantu apa yang kalian butuhkan. Apa yang tidak kalian mengerti aku akan jelaskan semampuku." Ardi memandang kami bergantian.
Kelas menjadi sunyi. Ardi baru saja meluluhlantahkan kenanganku.
"Silakan Anisa maju ke depan."
Aku tersentak. "Duh! Baru saja aku hanyut dalam arus masa lalu, akhirnya tergugu begini."
Aku berjalan ke depan kelas.
"Maaf. Apa yang harus aku lakukan?" Mulutku setengah menganga menanti jawaban Ardi.
Kulihat Ardi berusaha setenang mungkin. Ia memandangku seolah kami tidak pernah bertemu sebelumnya. Ada rasa marah yang tiba-tiba membuncah.
"Silakan!" Ardi tidak menyebut namaku.
Aku masih berdiri tanpa mengatakan apa pun. Entah mengapa mentalku meluncur bebas ke bawah. Lututku terasa bergetar. Napasku terasa memburu.
"Ayo, Nisa!" Setengah berteriak Ilham mengingatkan.
"Baiklah." Aku mengangguk kecil, mencoba berdamai dengan diri sendiri.
"Terima kasih kepada diriku sendiri. Terima kasih kepada masa laluku yang telah mengantar aku sampai di sini. Karena cita-cita masa SMA lah, aku ada di sini. Aku menyukai seni desain apa pun. Dan desain tas adalah salah satu pilihanku. Itu keinginanku sejak SMA."
Aku berhenti beberapa jenak. Tidak! Aku mengatakan hal itu dengan tidak menghubung-hubungkannya dengan Ardi.
"Selanjutnya, terima kasih kepada Ibu Marni dan Kak Ardi sudah memilih tas ku sebagai pemenang. Betapa senangnya aku mendapat apresiasi besar ini. Kepalaku terasa seperti balon."
"Balon hijau akan segera meletus, Nisa!" Tiba-tiba celutuk Ilham membuatku tertawa. Ardi dan Nova juga tertawa.
Aku lanjutkan! "Untuk menghadapi momen Pekan Crafter Nasional, aku berencana membuat tas dengan model yang sama kemarin. Hanya akan kumemodifikasi ukuran dan bahannya. Ukurannya akan kuperbesar hingga dua atau tiga senti meter, sedangkan bahan yang aku rencanakan adalah mix kulit imitasi dan bahan tenun. Ini masih rencana. Mohon petunjuknya." Aku menoleh kepada Ardi.
"Setuju!" Ardi tiba-tiba menjawab. Mungkin ia mengingat yang dikatakannya kemarin bahwa ia memang suka bahan etnik.