Bab 26. Malam Keberangkatan
Seminggu telah berlalu. Masa karantina sudah usai. Teman-teman sudah membuat karya sesuai kelas masing-masing. Kulihat wajah-wajah mereka yang menyemburatkan rasa senang. Pastilah mereka telah berkarya sesuai ekspektasi. Aku pun demikian. Karyaku sesuai benar yang aku inginkan. Aku benar-benar mengalami perjuangan yang melelahkan sekaligus menyenangkan.
Sebelum berkumpul di ruangan Ibu Marni, aku meminta izin kepada Kak Fitri agar diperbolehkan ke kamar sebentar.
Sampai di kamar ternyata sudah ada Miranda, Ina dan Rara. Aku senang sekali sekamarku juara semua dan kami sama-sama berangkat mempertaruhkan kepiawaian kami berkarya. Melihat mereka tak terasa air mataku meleleh. Rencana Tuhan memang tidak dapat ditebak oleh manusia. Dia Yang Maha Mengatur. Telah mempertemukan aku dengan banyak sahabat yang mengispirasi di sekolah ini.
Di ranjang, Miranda sedang menelepon. Mungkin ia sedang mengabarkan hal keberangkatannya kepada keluarganya. Ina sedang mengetik di ponselnya. Mungkin juga ia sedang memberi kabar kepada keluarganya bahwa malam ini ia akan berangkat ke Jakarta. Rara juga sedang memegang ponselnya. Aku yakin ia sedang terhubung dengan keluarganya untuk menyampaikan kabar yang menggembirakan ini.
Aku sendiri tidak akan mengirim kabar kepada siapa pun tentang keberangkatan aku ke Jakarta. Tidak juga kepada ayah atau ibu. Apalagi kepada Kak Ratmi dan Ratih. Kenalan di Makassar hanya Ardi yang tahu.
Aku membuka lemari, mengambil kotak kayu bikinan ayahku. Di dalamnya masih tersimpan semua asa dan keinginan-keinginan yang pernah kutulis waktu masih sekolah.
Aku lalu membuka kotak itu dan menarik selembar kertas secara acak. Entah berapa lembar kertas di kotak ini. Aku sudah lupa. Seberapa banyak lembar kertas di kotak ini, sebanyak itu pula keinginan, mimpi dan harapanku yang tertulis.
Aku tertawa saat lembar yang kuambil tadi bertuliskan: semoga di suatu waktu aku akan menginjak satu kota besar karena tanganku. Aku tertegun. "Kebetulan sekali! Bukankah kini aku akan berangkat ke Jakarta karena hasil karya tanganku? Ya, Tuhan, terima kasih." Aku memejamkan mata sesaat.
Kututup kembali kotak kayu lalu kuhadirkan wajah ibu dan ayahku. "Terima kasih ibu, ayah. Segala pengorbananmu tidak akan pernah aku sia-siakan."