Seminggu telah berlalu.
Pagi ini seluruh siswa yang pulang dari Jakarta diberi waktu istirahat sampai siang. Setelah waktu istirahat baru masuk kelas dan belajar seperti biasa.
Semalam kami tiba pukul sembilan malam. Tubuhku masih terasa lelah. Aku masih berbaring di samping Rara ketika Miranda dan Ina mendekati kami.
"Luar biasa presentasimu, Nisa! Sampai para panitia seakan tidak berkedip matanya melihatmu," kata Ina.
"Beneran, Na?" Mataku membulat.
Ina mengangguk. "Buktinya kamu langsung diberi tepuk tangan meskipun kamu belum selesai. Iya, kan?"
Kulihat ketiga sekamarku itu dibuai rasa senang. Aku bangkit dari pembaringan. Rara juga. Mereka memelukku. Rasa haru dan bahagia seketika menyeruak di dadaku.
"Kita harus rayakan ini," kata Miranda.
Aku mengernyitkan kening. "Ini sudah dirayakan," kataku.
"Pokoknya kita rayakan!" Miranda berdiri dari ranjang.
"Apa dong?" tanya Rara.
"Mie ayam Mbak Ira menunggu," kata Miranda lagi.
Kami tertawa. "Kalau itu boleh," kataku lalu memandang Miranda, Ina dan Rara bergantian.
Sepulang dari warung Mbak Ira, kami berempat termenung di kamar. Aku duduk di ranjang di sisi jendela. Pandanganku jauh ke sawah yang padinya sudah dipanen.