Beberapa bulan kemudian.
"Waktu terus berjalan. Tak terasa setahun kita di sini. Rasanya sebentar sekali. Lusa kita akan berpisah. Lalu kapan kita akan berjumpa lagi? Tidur bareng? Belajar bareng?" Suara Rara tiba-tiba menjadi serak. Mengundang haru.
Tidak ada yang menjawab ucapan Rara. Tidak juga aku. Yang terdengar hanyalah napas yang berat dari Miranda, Ina, dan Rara. Sejurus kemudian ada yang pecah. Tangis kami pecah sejadi-jadinya. Kami lalu berkumpul di ranjangku, di dekat Rara.
Meskipun hati kami mungkin sewarna mendung, dan mata kami sebentar lagi mengambang oleh air mata, tetapi kami percaya bahwa wajah dan semangat kami sangat cerah. Aku memandang Miranda, ada setitik air di kedua sudut matanya. Lalu Ina, ia buru-buru menghapus jejak air matanya. Punggung tangannya basah. Rara apalagi, ia sudah terisak. Mulutnya entah modelan apa. Kedua bahunya naik turun.
"Usap air mata kalian! Ayo kita ke gazebo!" Aku berdiri. Miranda, Ina dan Rara mengangguk bersamaan.
Di gazebo, kami langsung duduk menyandar di sisi pilar masing-masing sesuai nama kami. Beberapa detik kemudian, kami berdiri, mengulurkan tangan kanan ke tengah sementara tangan kiri tetap berpegang pada pilar. Tubuh kami tentu saja miring. Setelah tangan kami berkumpul di tengah dan sudah saling menggapai, kami mengangkat setinggi-tingginya lalu kami segera berdoa agar impian dan cita-cita kami tercapai.
"Aku Anisa dari Makassar."
"Aku Miranda dari Jakarta."
"Aku Ina dari Kupang."
"Aku Rara dari Manado."