“Jadi, bagaimana, Dok?”
“Hmm ... sebenarnya Bu Putri hanya ingin putrinya tidak memiliki trauma setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Tapi—”
“Tapi apa, Dok?”
“Bagaimana, ya—”
“Katakan saja, Dok?”
“Bu Putri memasukkan alamat dan nomor handphone yang salah. Jadi, kita tidak bisa menghubunginya.”
Maya bungkam. Ia tidak menyangka jika akan ada kasus seperti ini di rumah sakit tempatnya bekerja. Kemudian ia berkata, “Dok.” Ia menjeda sebentar kalimatnya. “Izinkan saya bertanggung jawab atas Alnameera.”
Dokter Fery mendongak. Ia tidak percaya dengan apa yang Maya katakan padanya.
Kilasan balik percakapan antara dirinya dengan Dokter Fery terngiang begitu saja di kepalanya. Ia tidak tega dengan kondisi yang dialami oleh Alna. Maya membuka mata ketika tiba-tiba saja Alna memanggilnya.
“Kak?” katanya.
“Ah, iya. Maap, saya sedikit kelelahan,” elak Maya. Sebenarnya ia hanya tidak ingin membalas pertanyaan yang keluar dari mulut gadis itu. Sungguh malang nasibnya.
“Eh? Ya udah kalo gitu, mau Alna pijit, nggak?” tanya Alna dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Tentu Maya terkesiap mendengar tawarannya.
Maya tersenyum. “Nggak perlu, Na. Makasih, cantik.” Ia mengakhiri kalimatnya dengan pujian.
“Ih, Kakak tau aja kalo Alna cantik,” balas Alna sambil terkekeh.
Mendengar itu membuat Maya mencubit pelan pangkal hidung Alna. Ia gemas dengan gadis di depannya.
“Bisa aja kamu.” Maya berpikir sejenak. “Mau jalan-jalan?” tambahnya.
“Boleh?” Alna membalas dengan pertanyaan. Matanya berbinar mendengar tawaran dari Perawatnya.
“Boleh, dong. Tapi—” Lagi-lagi Maya menggantung kalimatnya.
“Tapi apa?” tanya Alna penasaran.
“Kamu harus janji dulu sama kakak.” Maya mengangkat jari kelingkingnya. “Tolong jangan jauh-jauh dari kakak.”
Tanpa berpikir panjang, Alna menerima perjanjian itu. Ia pikir itu hal yang sangat mudah. Namun, kenapa perawatnya menjanjikan hal yang menurutnya sepele?
“Ya udah. Kamu ganti bajumu dulu.”
Alna mengerutkan dahinya. “Loh, kok?”
“Aku mau ajak kamu jalan-jalan ke taman kota,” katanya.