Alna

Wiwin W
Chapter #3

Alnameera Putri Dekantatama #3

Sepasang mata perlahan terbuka. Alna mengerjap, ia memegangi kepalanya yang diperban. Ia menghela napas dengan kasar ketika mengetahui keberadaannya yang lagi-lagi berakhir di rumah sakit. Semoga saja bukan di rumah sakit jiwa, lagi. Pikirnya.

Alna menoleh ke sebelah kirinya. Tampak seorang lelaki menenggelamkan kepalanya di sisi ranjang yang ia tiduri. Ia mengernyitkan keningnya, siapa lelaki itu? 

“Kayaknya gue bukan korban tabrak lari. Syukur, deh.” Alna bermonolog. 

Saat Alna akan beranjak untuk duduk, ia baru merasakan nyeri di tangan bagian kanannya.

“Ssshh, aduh. Tangan gue kenapa, nih?” 

Alna bungkam ketika lelaki yang tertidur itu menggeliat. Ia menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara kembali.

“Ngghh ... eh?” Lelaki itu menoleh ke arah Alna. “Alhamdulillah, Na. Udah sadar, lo?” 

“Dimas?” 

“Iya. Tolong, Na. Jangan kasih tau Frisqi kalo gue yang nabrak ... lo.” Dimas memohon sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. 

Bukannya menjawab, Alna justru menangis. Ia menangis karena dibuat bingung oleh semua kejadian yang ia alami. Kenapa tega sekali bundanya memasukkan ia ke rumah sakit jiwa? Meski ia tau, semua pasti memiliki sebab, bukan?

Dimas yang melihat itu pun gelagapan. Ia bingung dengan Alna yang tiba-tiba saja menangis.

“Na, jangan nangis dong. Gue minta maaf udah buat tangan lo patah. Gue janji bakal tanggung jawab, kok. Na, udah, jangan nangis.” 

“Bukan, Dim. Bukan itu. Gue ... gue bingung, kesel! Gue gak tau harus cerita ke siapa,” jelas Alna sambil sesenggukan karena isakannya.

“Gue, Na. Lo bisa cerita ke gue. Ada Erna juga, 'kan? Lo bisa ceritain masalah lo ke kita,” balas Dimas. Ia menunjuk ke arah Erna dengan matanya. Mendapat jawaban seperti itu dari Dimas, lantas Alna menghentikan tangisannya. Alna bungkam. Ia menatap Dimas dengan tatapan penuh tanya. Apa maksud dari ucapannya? 

“Kenapa, Na?” tanya Dimas.

“Maksud lo ada Erna juga, apa?” 

“Iya, kita bakal selalu dengerin cerita, lo.” Dimas beralih menatap Erna. “Iya, 'kan?” 

“Lo ngomong ke siapa, sih? Gue di sini. Tapi, mata lo malah ngelirik ke sana,” balas Alna. Sungguh, ia semakin dibuat bingung oleh temannya. 

“Siapa lagi kalo bukan Ern—” Dimas menggantung kalimatnya lalu menatap Alna dengan lekat. “Lo ga bisa liat Erna, Na?” tanya Dimas pada Alna.

“Dari tadi lo selalu ngomongin Erna. Kenapa, sih?” tanya Alna kesal. 

“Coba lo liat ke arah kanan, Na!” perintah Dimas.

Alna menurut, ia menoleh ke arah kanannya. Tapi, ia tidak melihat siapa pun. Karena memang hanya ada mereka berdua di dalam ruangan itu. Pikir Alna.

“Pintu? Lo kenapa nyuruh gue liat pintu?”

Lihat selengkapnya