"Ada banyak cerita yang tidak diketahui oleh semua orang tentang dunia ini. Tidak usah memaksakan untuk tahu, sebab itu bukan urusan manusia, terima saja. Ikhtiar lalu jalani tanpa keluhan. "
***
"Vhanina, cepetan ke ruang OSIS sekarang." Andini manarik paksa dia ketika masih berada dalam kelasnya. Diana hanya meliriknya sebentar lalu bersikap acuh lagi. Sepanjang koridor bisikan, dan delikan terus menghujani Vhanina. Dia tidak paham, hatinya sekarang merasa terluka. Sesampainya di pintu yang bertuliskan Ruangan Osis Pak Rudi sudah berdiri di ambang pintu masuk.
"Biarkan Vhanina tidak masuk, Din. Lagian kamu juga bukan lagi anggota OSIS kan," sindir Pak Rudi. Andini beringsut mundur satu langkah, tapi Vhanina malah maju menghadapnya. "Mana?" pinta Pak Rudi tanpa basa-basi. "Apa." Vhanina bingung menatapnya. "Barang… " jawab Pak Rudi.
"Aduh Pak, maaf lupa. Biarkan saya ambil sekarang."
Pak Rudi mengkerutkan kening, ada kejanggalan yang dia tangkap dari wajah Vhanina.
Vhanina tanpa menunggu diiyakan, dia berlalu, lain dengan Andriani yang masih mematung setelah tadi memundurkan langkahnya.
Nias yang sudah berada di dalam menghampiri Pak Rudi. "Kamu silahkan pimpin, ya. Bapak mau ada urusan." Tanpa Nias tahu, Pak Rudi mengikuti Vhanina.
***
Diana melihat ke arah Vhanina yang terlihat terburu-buru, dengan wajahnya ditekuk. Terlihat mengeluarkan benda yang tak dikenal dari dalam tas.
"Na, kenapa?" tanya Diana penuh harap Vhanina akan menjawab, namun nihil. Vhanina mengabaikannya, dia berjalan melewati Diana.
"Tuh anak kenapa si, dari pagi diem, lalu keluar bareng Kak Andini, sekarang balik-balik main nyelonong aja." Diana masih merenggut dengan kesal, lain dengan Vhanina yang sedang berjalan di antara tatapan orang, dengan tatapan yang sulit diartikan olehnya.
Di tikungan, penghubung kelas dan kantor guru Vhanina menabrak, seseorang yang tak lain Pak Rudi.
"Aduh, maaf Pak," ringgis Vhanina menunduk.
"Kamu ke kantor kepala sekolah dulu, setelah itu temui bapak. Di belakang sekolah!" ucap Pak Rudi tegas.
Vhanina setengah tak sadar. "Terus ini, Pak… " ucapnya tidak didengar, Vhanina menghela napas berat. Dia menyeret paksa kakinya menuju ruangan kepala sekolah, yang berada di sebelah ujung kantor guru-guru.
"Maaf, Pak…" ucapan Vhanina belum tuntas sepenuhnya, terlanjur terpotong Bu Helvi.
"Duduk kamu, Vhanina!" Vhanina bergerak sedikit mendekati, kepalanya masih dia tundukan.
"Ada apa sebenarnya! Mengapa menjadi seperti ini?" Suara Bu Helvi tidak terkesan menyudutkan, hanya saja ketegasan dan sorot matanya tidak terbantahkan membuat Vhanina merasa sesak saat itu juga.
"Aku tidak tahu apa-apa, mengapa semua seperti ini. Tolong, aku ingin menghilang dari keadaan sekarang saat ini juga."
Vhanina meremas roknya sangat kuat, nyalinya ciut begitu saja, dia berpasrah. Tidak ada perlawanan, atau penjelasan terperinci yang bisa saja keluar dari mulutnya. Aura terbantahkan itulah, jiwa raganya seakan ikut mengunci, sebab percuma!
"Ayo jawab, kenapa?" ucap Bu Helvi lebih melunak, membuat Vhanina kesulitan meneguk salivanya, hanya gelengan kepala yang mampu Vhanina laukakan dengan sedikit berujar yang sangat pelan.
"Aku tidak tahu apa-apa Bu, benar tidak tahu, aku hanya lupa." Pandangan dia mengarah kepada kepala sekolah yang tengah mengenyitkan dahi.
"Vhanina jangan bercanda." Vhanina tak menjawab, kesadarannya seakan sudah hilang, matanya memburam. Perlahan dia mundur. Sekuat hati dia tahan tangisnya agar tak terdengar begitu pilu, entah kekuatan apa yang dia punya. Pada akhirnya Vhanina membalikan badan, sebelum itu dia menyimpan sebuah benda di tangan Bu Helvi yang tak disadarinya, sebab hanya seperkian detik. Ketika Bu Helvi akan melangkah untuk mengejar Vhanina yang hilang dari balik pintu, kepala sekolah mengatakan sesuatu.