"Segala sesuatu yang dimulai dengan keegoisan tinggi, tak akan pernah menemukan titik temu, kecuali mengalah salah satu."
***
Vhanina mengepalkan tangan, dilihatnya pantulan diri dia di cermin kemudian tersenyum kecut, tangan kanan terulur menyibak helai rambut yang menghalangi mata, lalu menghapus jejak air mata. Merasa cukup memandangi diri sendiri tanpa topeng atau kemelut yang ditahan-tahan, Vhanina segera melenggang pergi meninggalkan tempat itu. Memandu kakinya menuju kelas.
Keadaan kelas yang kosong dan hening tanpa suara disyukuri Vhanina, pikirnya tidak usah repot menjawab orang-orang yang bertanya, kenapa tadi pagi lalu sekarang sudah bawa tas di jam istirahat pertama. Jam yang menggantung di depan kelas menunjukkan pukul 10.35. "Tumben belum pada masuk ini, dahlah aku langsung pulang aja deh," monolognya.
Letak kelas yang tak jauh dari gerbang, membuat Vhanina tak kesusahan juga harus menghindar beberapa tatapan orang-orang yang keheranan. Dia melesat lari, membiarkan keheningan terhirup bersama angin.
Sesampai di depan gapura sekolah pun, terbuka lebar. Tidak ada Pak Slamet yang biasa berjaga, hatinya bersua sendiri. "Mengapa hari ini sekolah tampak beda, apa cuman aku aja yang ga baik-baik aja kali ya."
***
Entah harus disebut apa, kejadian yang Vhanina dapatkan. Bahagia bisa pulang lebih awal atau sedih oleh sebab surat peringatan itu. Di rumah tidak ada siapa-siapa, tak ada alasan untuk Vhanina terlihat baik-baik saja. Orang tuanya yang sedang bertugas di luar kota memberikan keleluasan Vhanina berbuat sesukanya. Dia melempar sepatu dari kakinya sembarang, tasnya yang telah terlebih dahulu disampirkan di kursi tamu. Dirinya yang segera membuka pintu kamar, lalu menjatuhkan badan penuhnya, berguling menatap atap kamarnya yang perlahan buram dalam penglihatannya, perih dirasa terus seakan menghujam ulu hatinya. Lirih selanjutnya. "Kenapa, apa salahku!" Denting bunyi gawai yang sedari tadi sudah dianggurkan menarik sedikit perhatian Vhanina. Dia membukanya, tatapan kosong memburam begitu saja.
"Naa, kamu pulang? Kenapa ga bilang-bilang aku dulu, kamu beda sekarang!! Kenapa sihh, ada apa? Aku nunggu kamu yang cerita duluan, tapi apa? Kamu diam!! Damnn."
Vhanina membanting gawainya sampai batunya terpisah setelah membaca pesan itu, wajah dia tenggelamkan dalam bantal dan meringkuk di atas kasur. Teriakannya tanpa suara, tangisnya tanpa rasa.
***
Rembulan bersinar dengan damai, pada malam yang sunyi terdengar hiliran angin. Vhanina tersadar dirinya tertidur sejak tadi siang, entah pingsan atau apa. Dia terbangun merasa semua badannya terasa sakit, matanya yang berat saat digerakkan dan suaranya hampir tanpa nada. Jam menunjukkan pukul 7, dengan keadaan lemas terlonjak kaget dia segera berlari ke kamar mandi. Membersihkan badan untuk melaksanakan sembahyang yang terlewat. Tidak sampai tiga puluh menit dia keluar dari kamar mandi, sudah terlihat membaik. Di angka 9 sudah sampai jarum jam berputar, Vhanina masih diam di atas gelaran sejadah yang terbentang. Tangannya mulai meraba sesuatu yang dibanting tadi siang. Memperbaikinya lalu membuka, spam chat masuk langsung berderet pada layar, beberapa panggilan orang tuanya, serta satu dm berasal dari Rivaldi. Vhanina membuka semua itu merasa was-was, namun ia beranikan diri. Pertama chattingan dari Diana.
Diana Kepo😴 :"Naa kamu ga papa kan? Naa..."
Diana Kepo 😴 :"Naa jangan kaya gini dong, ngomong!! ehhh salah ngetik. Tuh tangan gerakin.
Diana Kepo😴 :"Vhanina Az-zahra khoirunnisa binti ayahnya tercinta juga ibunya yang agak judes. Kamu kenapa?
Vhanina tidak membaca secara spesifik semua chatt Diana, yang semua hampir 70 chatt dengan pertanyaan sama dan lelucon recehnya. Vhanina paham, Diana pasti mengkhawatirkannya, tapi Vhanina enggan bercerita dulu. Dia hanya membalas dengan satu kata yang umum.
Vhanina Strong 😀:"Baik..."
Lalu panggilan tak terjawab dari orang tuanya, dia tidak ada niat untuk menelpon balik sekedar mengirim pesan mengatakan dia baik lebih dari cukup. Pesan yang masih berlabel di aplikasi Instagramnya terakhir tidak dia buka. Dia membereskan perlengkapan salatnya, lalu segera meringkuk kembali di atas ranjang, menyenderkan kepalanya di sandaran kasur, untuk kesekian kali Vhanina menatap langit-langit kamar, hening tanpa ucap, padahal di kepalanya sedang ada perdebatan.
"Entar kalau ibu tahu aku di skors gimana ya,"