Aku menghalalkan segala cara untuk membuatmu merasakan apa yang seharusnya. (Aressa)
"Seperti keindahan bunga raflesia, unik. Sayang, aromanya membuat ketenangan terganggu, tetapi untuk orang yang telah dibutakan rasa suka terhadapnya, pasti tidak akan merasa."
***
"Melamun aja neng," ucap Aressa. Riri menanggapinya sekedar dengan senyum tipis yang dibuat-buat.
"Nggak usah senyum kalau ngga mau, dipaksa itu ga enak. Slow aja aja kali." Riri diam tak merespon.
"Kamu kesal ya, Vhanina yang kepilih." Aressa berbicara sendiri dalam hati selanjutnya.
"Kebetulan sekali, ada mangsa nih."
Aressa merangkul Riri sambil berkata lagi. "Jangan mau kalah oleh Vhanina, kakak siap bantu." Tatapan Aressa menuju mata Riri yang seakan berbicara. "Apa maksudnya, Really!" Detik selanjutnya Riri senyuman Riri lebar sambil membalas rangkulan Aressa.
"Kak terus langkah selanjutnya bagaimana? Selama ini aku usaha ngomporin dia untuk jatuhin martabatnya, tapi dia itu malah ayem-ayem aja." Riri berkata ketika keduanya sudah berada di taman yang biasa ditempati anak-anak buat ngadem, kebetulan hari itu taman sepi, jadilaha hanya ada mereka berdua.
"Eeumm, kakak sudah susun rencana sih," jawab Aressa tenang tanpa Riri sadari bahwa hal tersebut sudah Aressa persiapkan jauh-jauh hari.
"Jadi gini, kamu selalu gagal di forum kan? Terakhir kali, ya. Kamu gagal juga di pemilihan kandidat untuk perwakilan sekolah, kamu denger nggak ? Kalau Vhanina itu tak terbantah orangnya? Bagaimana kalau kita buat semacam alibi, sehingga orang-orang beranggapan bahwa dia sok berkuasa." Aressa menjelaskan dengan seringai yang picik. Riri masih tidak paham, mengerutkan kening. Aressa yang melihat ke tidak pahaman Riri tertawa renyah. "Santai kali Ri, jangan terlalu serius seperti akan melakukan kejahatan berencana. Dia sama Nias bentar lagi lomba kan? Lalu kenapa kita nggak pepet aja supaya mereka seakan dikejar waktu, kebetulan pensi yang direncakan tahun lalu akan segera terlaksana dan segala yang berhubungan dengan pensi pasti memerlukan tenaga, pikiran dan waktu. Jikalau dibuat seolah-olah Vhanina yang mengajukan buat dipundurin waktunya lagi gimana? Anda banyak alasan untuk bisa mendapatkan persetujuan kepsek sama pembina mah, setelah itu pasti tuh Nias merasa tertekan, lalu kan ada acara penyerahan jabatan setelahnya, gimana kalau kita buat seakan Vhanina lumpa sebab ga mau nyerahin jabatannya begitu saja. Itu poin yang utamanya dulu." Riri tersenyum penuh arti sekarang, tandanya dia paham. "Tapi Kak, apakah akan ribet dan berakibat fatal jika kita ketahuan." Aressa mengangguk mantap. "Tenang aja, nggak bakalan."
Keduanya kembali terdiam, entah apa yang berada dalam pikirannya masing-masing, sampai kerlingan mata Riri menangkap sosok yang tengah berjalan terlihat membawa buku tipis di koridor sebrang sana, lorong yang menyekat antara gedung satu dan gedung dua, Riri menyipitkan mata untuk meyakinkan, namun sebelum Riri menyimpulkan, bayangan yang dilihatnya telah hilang dari pandangan, seraya bergumam pelan. "Bahkan dari kejauhan pun, aku merasa dejavu, aku benci dengan hal ini," lirihnya tak terdengar hanya dibawa riak angin berlalu. Riri selanjutnya menoleh kepada Aressa. "Kak, tapi gimana caranya?" tanya Riri lagi, sempat merasa janggal karena Aressa tidak merespon langsung, yang ada harus disiku Riri dulu.
"Eh iya, Ri. Kenapa?" ucap Aressa ambigu. Riri mengerecutkan bibir kesal. "Ihh kakak, tapi gimana caranya," ucap Riri kembali sambil memuluk bahu Aressa pelan.
"Eheemm sorry. Heeee, caranya entar aku kasih tahu malem ya." Aressa bangkit dari duduknya, lalu melangkah pergi dan mengatakan sesuatu.
"Jangan lupa, online Ri. Kakak duluan." Riri ditinggal, hanya menghela napas tak karuan, detik selanjutnya mendongkak, melihat langit mendung, seperti akan turun hujan dalam waktu dekat.
***
Vhanina menghembuskan napas gusar, pasalnya minggu-minggu sekarang dirinya seperti terkurung oleh waktu, yang dipaksa harus patuh sebab tugas dan tanggung jawabnnya. Sedikit memijat pelipisnya secara pelan, Vhanina tanpa sengaja bertabrakan dengan orang. Berkas yang berada di tangannya jatuh berantakan, orang itu menyalip membawa satu kertas dan pergi begitu saja tanpa memperdulikan Vhanina. Vhanina yang tampak kelelahan hanya berpikir hal biasa tidak terlalu perduli, dia pun berjongkok lalu memunguti kertasnya.
Nias yang berada tak jauh dari Vhanina langsung terayun berlari kecil membantu Vhanina yang kebetulan melihat sedang membereskan kertas. Vhanina anatara sadar dan tidak, dia bangkit lalu menerima beberapa tumpukan kertas yang disodorkan, ketika wajahnya menengadah waktu seakan melambat. Ke dua mata mereka beradu, ada pesan yang ingin disampaikan, semacam perkara menyerah. "Ehh, Kak. Makasih... " cicitnya menunduk lagi. "Aku duluan ya," kata Vhanina yang akan melangkah melewati Nias, tetapi sudah terlanjur Nias pegang tangannya. Vhanina memandang Nias yang masih tetap memeganginya, tanpa perkataan Nias menuntunnya.
Sepanjang mereka berjalan, hampir semua tatapan orang yang berada di coridor menatapnya. Nias tidak peduli, dia tetap menuntun Vhanina, meski terkesan memaksa. Mereka menaiki dua kali anak tangga menghubungkan gedung tingkat satu dan tiga. Setelah sampainya di rout-up sekolah, ke duanya membisu seakan suaranya menggantung dibawa angin sepi. Nias melepaskan cekalannya, maju sedikit jauh dari hadapan Vhanina. Keadaan diam bertahan sepuluh menit, hingga Vhanina yang mengeluarkan kata terlebih dahulu.
"Kenapa?" tanya sedikit mendongkak, padahal jelas Nias masih membelakanginya. Bukannya menjawab, dia berbalik lalu perlahan melangkah, mendekati Vhanina menghapus jarak di antara keduanya.
"Aku yang seharusnya bertanya kenapa? Kamu keluar begitu saja, lalu ingin protes tapi kesepatakan telah dibuat." Ditatap netranya secara lekat oleh Nias, nada yang tidak bersahabat tiba-tiba membuat hati Vhanina yang lelah makin layu, sampai matanya bekaca-kaca tanpa dia pahami.