Sepasang sepatu itu beradu dengan lantai, sama sekali enggan untuk menengadahkan wajah. Rasa yang masih teraduk dan terombang-ambing kini hanya terpenjera oleh diam. Dia terus berjalan menyusuri koridor sekolah yang masih tampak lengah, ketukannya berirama pelan sampai terlihat sepasang sepatu lain menghampiri. Tidak asing lagi, hanya saja membuat rahang dia mengeras dan matanya terasa memanas.
"Tunggu… " Itu yang ditakutinya, sebuah kata yang seakan mampu membuat dunianya gelap. Perihal kata tunggu tidak jauh beda dengan menunggu, sama saja membuat luka yang direncanakan tanpa obat kepastian, tidak ingin terjebak, biarlah semuanya berjalan dan rasa ini segera hilang meski sebuah kejadian dalam hidup tidak akan pernah benar-benar terlupa.
Dia tidak mendengarkan, terus melangkah dan langkahnya semakin cepat sampai suara itu hilang di telinganya.
Bagi dia menghindar bukan sebuah pelarian ataupun kalah dengan sebuah fakta. Ini salah satu cara, agar dia mampu melawan bahwa hatinya tidak salah dan keadaan tidak pernah memihak siapa saja, meskipun angin topan yang merobohkan, hujan deras yang merisaukan, itu adalah hukum alam atas ketentuan-Nya yang sudah dipastikan sebuah kehendak kekuasaan-Nya. Apalagi berbicara soal hati, yang direbut oleh jabatan bernilai tidak seberapa.
"Naa, Kamu mau kemana?" teriak seseorang yang menghentikan langkahnya. Dia lalu menoleh dan baru sadar, kelasnya sudah kejauhan.
"Heee… Aku tadi nyasar, kirain gak bakalan ada yang peduli lagi gitu," cibirnya menjawab.
"Kamu kalau mau nyindir jangan pake kata langsung aja pake jotos biar kerasa nyinyirannya. Hahah…." jawabannya terkekeh pelan.
Dia menimpug temannya sehingga membuat dia meringgis.
"Sakitlah, Naa… "
"Aehelah drama kamu, baru segitu aja udah nyerah. Apalagi kalau jadi aku." Jawabnya sambil menarik pergelangan tangan masuk ke dalam kelas.