Perempuan biasanya identik dengan imej lembut, halus, dan manis. Di negara kita pun imej perempuan pada umumnya masih seperti itu, jika perangainya kasar cenderung akan mendapatkan stigma negatif. Perempuan harus penurut, lembut, pandai memasak dan mengurus rumah. Di jaman modern seperti saat ini pun imej seperti itu masih banyak berlaku di masyarakat. Perempuan dituntut harus menurut pada lelaki, tidak boleh sejajar apalagi lebih tinggi, harus lembut dan halus perangainya dan harus pandai merawat serta mempercantik diri agar banyak lelaki yang suka, lalu yang paling penting, harus pintar memasak dan mengurus rumah. Anggapan ini masih banyak di mana-mana hingga jika ada perempuan yang mandiri, sukses dalam pekerjaannya apalagi juga berpendidikan tinggi, cenderung malah akan mendapat pandangan kurang baik di masyarakat karena dianggap tidak ada lelaki yang mau dengan perempuan seperti itu. Tapi memangnya kenapa? Apakah salah menempuh pendidikan tinggi bagi perempuan? Apakah salah kalau perempuan bisa bekerja dan sukses di pekerjaannya, memiliki penghasilan sendiri dan cukup mapan? Bukannya malah bagus? Lalu kenapa masih saja ada pandangan negatif seperti itu?
Lavanya Zora Dayana, bisa dibilang ia adalah seorang female alpha. Female Alpha adalah sebutan bagi seorang perempuan yang mandiri, berpendirian dan memiliki karakter yang kuat, dengan kepercayaan diri tinggi dan bisa menjadi pemimpin yang baik. Mereka juga memiliki tujuan dan impian yang jelas, kuat, cerdas, serta berkemampuan tinggi, ambisius, dan dominan. Dominan, ya, dari sudut pandang sesama perempuan, seorang female Alpha pasti sangat keren dan menjadi panutan, tapi dari sudut pandang lelaki, justru sebaliknya, mereka bisa merasa minder bahkan terancam jika berhadapan dengan seorang female Alpha. Zora merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dan saat ini ia juga sudah bekerja di salah satu rumah sakit di kota Surabaya, saat ini usianya 27 tahun. Seperti kebanyakan Asian Parent pada umunya, orang tua Zora pun ingin agar dia segera menikah dan memperbaiki perangainya yang kasar. Ya, Zora adalah gadis yang kasar dan tegas. Dari luar ia tampak tidak banyak bicara dan dingin, tapi walau tak banyak bicara pun ia sudah cukup mengintimidasi. Dengan tinggi 165cm, lebih tinggi dari rata-rata tinggi kawan-kawannya yang perempuan, dan ekspresi yang tampak selalu serius, cukup untuk membuat orang lain segan padanya hingga kemudian banyak yang menyebutnya sebagai Female Alpha. Sebenarnya sebutan itu kurang cocok bagi Zora karena sebenarnya ia kurang percaya diri dan kurang suka menjadi pemimpin tapi mungkin karena auranya saja sudah mengintimidasi, orang lain segan duluan padanya. Tapi selain itu, Zora memang memiliki karater yang kuat dan memiliki pendirian yang kuat pula. Jika sudah memutuskan sesuatu atau sudah memiliki tujuan, ia tidak akan mudah digoyahkan. Bahkan tak jarang ia bertengkar dengan orang tuanya karena keras kepala. Zora juga bukan gadis yang pandai merawat atau mempercantik diri, bukan, dia bukannya tomboy, karena biasanya tomboy itu identik dengan banyak teman lelaki dan menyukai banyak hal yang dianggap merupakan kesukaan laki-laki seperti bola, game, dan lain-lain. Zora hanya kurang suka berdandan atau berpenampilan yang ‘cewek banget’ karena menurutnya itu merepotkan, temannya pun kebanyakan perempuan dan tentu saja salah satu hobinya pun adalah hobi kebanyakan perempuan lainnya, yaitu bergosip. Dia sendiri tidak paham kenapa dirinya bisa disebut female Alpha. Lalu masalahnya dimulai dari sini, saat ini Zora sudah bekerja dan gajinya pun lumayan, ia pun sudah menyelesaikan pendidikan magisternya hampir 2 tahun yang lalu. Ia juga aktif menulis di media dan punya hobi fotografi amatir yang ternyata hasil fotonya bisa ia jual walau tidak terlalu banyak keuntungannya. Dari segi materi, ia sudah udah cukup mandiri, bahkan ia juga sudah bisa membeli apartemen untuk dirinya sendiri serta tengah menyicil untuk kendaraan. Sebenarnya kedua orang tua Zora kurang setuju jika Zora terlalu fokus bekerja karena mereka ingin Zora segera menikah. Hal yang jelas ditentang oleh Zora karena dia memang belum berniat untuk menikah, selain itu dia bahkan belum pernah pacaran di usianya yang ke 27 tahun itu. Yang cukup aneh, teman-teman atau kenalan Zora, cukup sering meminta saran atau curhat pada Zora untuk masalah percintaan. Walau pengalamannya nol, tapi setidaknya sejauh ini saran yang ia berikan cukup memuaskan bagi mereka yang curhat atau minta saran padanya. Satu sisi, karena banyaknya pengalaman kurang menyenangkan dalam menjalin hubungan yang ia dengar, Zora sendiri jadi takut untuk memulai hubungan khusus. Itu salah satu alasan kenapa ia belum terlalu memikirkan untuk menuju hubungan yang lebih serius atau pernikahan walau dari segi usia sebenarnya sudah cukup.
Tapi karena tiap pulang ke rumah orang tuanya, apalagi jika bertemu kerabatnya yang lain ia hampir selalu ditanyai mengenai rencana pernikahan, Zora jadi malas sekali untuk pulang. Ia lebih suka menghabiskan waktu di apertemennya. Setidaknya tidak ada yang merecokinya mengenai pernikahan disana.
Ponsel Zora lagi-lagi bergetar, tanpa melihat pun Zora tahu jika yang menghubungi adalah ibunya, memintanya untuk pulang. Zora hanya menghela nafas kesal, ia cukup yakin jika dirinya diminta untuk pulang untuk membicarakan pernikahan lagi. Sampai akhirnya karena ibunya terus menelpon, Zora terpaksa mengangkat telponnya.
“Ada apa, ma?”
“Besok libur kan? Mbak nggak pengen pulang?”
“Ya, nanti” syukurlah kemudian Zora bisa mengalihkan pembicaraan dan berakhir dengan ia bergosip dengan ibunya.
“Oh iya, ibu pengen bakpia, beliin ya mbak”
“Bukannya disana ada?”
“Bakpia pathuk dong, katanya mbak pengen mendoan angkringan yang depan hotel dulu itu kan? Ayah tadi juga sudah ngirimin uang sangu tuh”
“Aku disuruh ke jogja buat beli bakpia? Nggak salah nih, ma?”