Alpha vs Alpha

mikaji Al daufan
Chapter #2

#2

Zora diantar ke stasiun keesokan paginya oleh ayahnya. Jarak dari rumah mereka ke stasiun tidak terlalu jauh, hanya makan waktu sekitar 20 menit. Begitu tiba di stasiun, ia segera salim dan berpamitan dengan ayahnya, dan turun lalu masuk ke stasiun.

Suasana stasiun hari itu cukup ramai, mungkin karena akhir minggu. Kereta Zora harusnya tiba 15 menit lagi. Sambil menunggu keretanya tiba, lagi-lagi Zora merasakan firasat kurang enak. Ia cukup yakin ini bukan tentang perjalanannya, apakah akan terjadi sesuatu yang buruk di perjalanan atau semacamnya, dan bukan juga sesuatu yang sekiranya membahayakan dirinya. Yang cukup ia yakini hanyalah akan terjadi sesuatu yang penting tapi itu bukanlah sesuatu yang ia suka.

               “Perasaan aja kali ya...” gumam Zora berusaha menenangkan diri.

                               ###

Jika ada female Alpha, tentu saja juga ada Male Alpha. Sama seperti Female Alpha, Male Alpha pun cenderung keras kepala, pantang menyerah, dan berpendirian teguh serta merupakan pemimpin yang baik. Bedanya adalah pada sikap, jika female alpha cenderung cool dan tegas bahkan kaku, maka male alpha justru sebaliknya. Mereka bisa dibilang lumayan ramah jika dibandingkan dengan female alpha. Mereka cenderung lebih mudah bergaul, walau sebenarnya ciri-ciri seperti itu pun kembali pada pribadi masing-masing. Mereka juga tipikal orang yang akan memegang teguh perkataannya. Mungkin bisa dibilang, seorang Male Alpha biasanya adalah tipikal menantu idaman Asian parents. Berbeda halnya dengan female Alpha yang walau mandiri dan kuat, terkadang kurang disukai oleh keluarga yang masih kental dengan budaya patriarki.

Randi Anggara Eka Wijaya, terlahir dari keluarga kaya raya dan memiliki otak yang cerdas tentu saja membuat hampir semua jalannya mulus. Karena ia merupakan putra tertua, sejak kecil ia dididik dengan keras untuk menjadi pewaris yang pantas bagi keluarga mereka. Berbagai macam les sudah menjadi kegiatan sehari-harinya sejak kecil agar kelak ia dapat menjadi pemimpin yang pantas untuk meneruskan usaha keluarga Wijaya. Mungkin karena didikan keras dan banyaknya tuntutan sejak kecil sampai usia SMP, menjadikan ia seorang yang workaholic saat dewasa. Untungnya saat ia memasuki bangku SMA, orang tuanya mulai sadar kalau tak baik terlalu menekan dan banyak menuntut anak sehingga saat SMA, kuliah dan seterusnya Randi cukup diberi kebebasan untuk melakukan dan meilih apa yang ia inginkan selama itu bukan hal yang buruk. Saat ini usianya adalah 35 tahun dan di usia yang sudah mencapai kepala 3 ini entah sudah berapa kali ia menjalin hubungan tapi tak ada yang serius, bahkan ia mendapat julukan ‘buaya’ dari teman-temannya karena banyaknya wanita yang ia pacari tapi berakhir begitu saja jika ia bosan. Tentu saja dengan apa yang ia miliki, wajah tampan, postur tubuh yang bagus, dan kekayaan, banyak sekali wanita yang mendekatinya sehingga sebenarnya tidak aneh jika ia sering gonta ganti pacar. Orang tuanya bukannya tidak mengetahui kelakuan putra tertua mereka itu, mereka sudah berkali-kali menegur Randi tapi hanya dianggap angin lalu. Hubungannya yang paling lama dengan seorang gadis hanya sampai 5 bulan. Randi memang sering gonta ganti pacar tetapi setidaknya ia masih cukup tahu diri dan ingat norma. Dari sekian banyaknya mantannya, tak ada yang ia rusak. Saat putus pun ia memberi mereka banyak hadiah dengan alasan sebagai permintaan maaf. Walau sebenarnya bagi Randi semua itu hanya main-main saja. Sebanyak apapun gadis yang ia pacari, sampai sejauh ini rasanya ia belum menemukan gadis yang benar-benar menarik baginya. Kebanyakan hanya ia pacari karena iseng saja. Brengsek ya? Memang. Tentu saja diantara para mantannya itu ada juga yang matre dan berusaha memanfaatkan Randi terutama soal uang dan kedudukan. Tapi untuk menyelesaikan masalah seperti itu sangat mudah bagi Randi, jika si mantan yang bermasalah itu sudah keterlaluan mengusiknya, ia tak akan segan menggunakan jalur hukum demi menjaga ketenangan dirinya. Berlebihan ya? Tidak bagi seorang tuan muda keluarga konglomerat seperti Randi.

               “Bang, dipanggil papa” Rindra, adik Randi memanggilnya ke kamarnya. Saat ini Randi memang tengah berada di rumah orang tuanya karena disuruh pulang oleh kedua orang tuanya.

               “Apa? Perjodohan lagi?” Rindra hanya mengangkat bahu. Randi menghela nafas kesal, entah sudah berapa kali orang tuanya berusaha menjodohkannya dengan anak-anak perempuan dari kolega kerja mereka, tapi sampai saat ini belum ada yang cocok. Tentu saja Randi juga tidak segegabah itu dengan langsung memacari mereka lalu tak lama kemudian mengakhiri hubungan. Biasanya ia hanya menemui mereka demi kesopanan, lalu menolak perjodohan itu. Orang tuanya nyaris putus asa karena di usia yang sudah 35 tahun itu, Randi belum juga menikah.

               “Kali ini siapa?” tanya Randi tanpa basa-basi.

               “Mana sopan santunmu, mas” omel sang ibunda. Randi cuek saja dan duduk di hadapan kedua orang tuanya.

               “Papa yakin kamu kenal Om Danu? Anak ini adalah putri dari sahabat Om Danu, salah satu pendiri Buana Group.” Buana Group adalah perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, dan penghijauan lahan bekas tambang, mereka juga mulai merambah ke bisnis hotel dan penginapan.

               “Yang mana? Pak Damar? Bukannya anaknya laki-laki semua dan sudah menikah kecuali yang paling kecil yang masih kuliah? Oh, ada satu anak perempuannya tapi dia masih kuliah, kan? Papa menjodohkan mas sama anak kecil?”

               “Yang bener aja, mas. Masa papa menjodohkanmu sama anak Pak Damar?” kata Bunda Randi, geleng-geleng heran dengan asumsi anaknya.

               “Lalu siapa?”

               “Dengan anak Pak Indra”

               “Pak Indra yang mana?”

               “Sepertinya mas belum pernah ketemu dengan Pak Indra, putri tertua pak Indra sudah lulus magister, sudah bekerja juga dan sangat mandiri. Tidak mengandalkan harta orang tuanya saja, kami pernah sekali bertemu dengannya saat dia menjemput pak Indra dari bandara, pernah juga beberapa kali bertemu di rumah sakit tempat dia bekerja”

               “Anak perempuan yang mandiri dan kuat, bunda suka sih mas, kalau punya anak perempuan, bunda pengen punya anak kayak mbak Nana, anaknya juga baik dan sopan, selalu menyapa dan salim saat bertemu kami di rumah sakit.”

               “Namanya Nana? Pencitraan doang, kali” cibir Randi.

               “Itu panggilannya di rumah, namanya Lavanya Zora Dayana, besok kamu ke Jogja, temui dia”

               “Hah?! Dadakan begini?!”

               “Sudahlah mas, bunda nggak terima penolakan, pokoknya mas temui Nana dulu, bunda tuh udah pengen banget gendong cucu” Randi tampak ingin protes tapi tak jadi karena melihat tatapan tajam sang ibunda. Tentu saja, bagaimanapun baginya, sang bunda lebih menyeramkan dibandingkan papanya.

               “Mas, papa titip bakpia yang kayak bolu itu ya”

               “Oh iya, bunda bawain batik ya mas”

               “............ Iya....”

               “Jangan terpaksa gitu ah mas, nanti mas suka beneran loh” kata bundanya setengah menggoda. Randi hanya melengos.

Lihat selengkapnya