Alpha vs Alpha

mikaji Al daufan
Chapter #3

#3

Karena hari masih pagi, jelas mall belum buka. Jika sedang kesal, Zora memang suka pergi ke mall. Untuk bermain di Game Zone terutama bermain Claw Machine atau dia akan menghabiskan waktu menonton film horor di bioskop. Walau alternatif kedua ini membuatnya ketakutan sendiri saat malam hari dan ia akan menelpon para teman-temannya untuk ditemani mengobrol sampai ia mengantuk. Zora akhirnya memutuskan untuk pergi ke pantai. Ia segera bersiap-siap lalu memesan taksi online. Sepanjang perjalanan, Zora merancang kegiatannya hari ini. Dua harii lagi ia sudah harus kembali untuk bekerja, jadi ia harus memanfaatkan hari ini semaksimal mungkin untuk jalan-jalan. Tak terasa ia sudah tiba di pantai. Karena masih cukup pagi, suasana pantai masih belum terlalu ramai tapi sinar matahari pagi sudah terasa cukup panas bagi Zora. Ia berjalan di sepanjang pinggir pantai sambil sesekali menendang-nendang ombak yang berdebur melewati kakinya.

               “Lavanya?”

Dunia sedang bercanda padanya atau bagaimana karena baru saja ia merasa mulai terhibur dengan rasa dingin dari ombak yang melewati kakinya, ia malah mendengar suara yang masih membuatnya kesal. Tentu saja Zora pura-pura tidak dengar dan malah memasang headphone yang tadinya berada di lehernya.   

“Lavanya, tunggu” kali ini Zora benar-benar berlari, dia masih sebal dengan laki-laki itu dan fakta bahwa mereka dijodohkan hanya menambah kekesalannya. Tapi ya karena dasarnya Zora kurang rajin berolahraga, ia dengan cepat kehabisan nafas dan memperlambat larinya. Berbeda dengan Randi yang rajin berolahhraga dan kakinya lebih panjang dari Zora yang tentu saja membuat pekerjaan mengejar Zora menjadi lebih mudah.

“Tunggu dulu, jangan lari lagi” Randi menahan tangan Zora yang ditepis kasar oleh Zora.

“Apa?”

“Uh.... Yaaaah.... Saya mau minta maaf.”

“Soal apa?”

“Itu... Memang seharusnya saya tidak bicara begitu, lagi pula yang meminta perjodohan ini orang tua saya..."

“Oh? Sadar juga anda?” Randi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Karena masih dendam pada Randi, Zora menendang betis laki-laki itu lalu berlari kabur lagi.

“Aduh, dia umur berapa, sih?! Kenapa kelakuannya macam bocah?!” gumam Randi kesal sambil mengusap-usap betisnya, lumayan sakit juga ditendang oleh Zora. Sebenarnya pertemuan itu tak disengaja. Ia memang berniat ke pantai pagi hari untuk jogging di sepanjang bibir pantai. Lalu malah dilihatnya Zora yang bermain-main dengan ombak. Ia tahu dari topi yang dikenakan Zora dan saat ia mendekat untuk memastikan, ternyata memang gadis itu. Padahal dia sudah menurunkan harga dirinya untuk minta maaf bahkan berniat mentraktir Zora sebagai permintaan maaf tapi ia malah ditinggal kabur begitu, ditendang pula.

“Ah sudahlah...” gumam Randi.

               ######

Mood Zora yang tadi sudah cukup membaik rasanya rusak lagi karena Randi. Oke, laki-laki itu memang minta maaf, tapi ia tetap kesal pada Randi. Rasanya ia tidak puas dengan pukulannya kemarin dan tendangannya tadi, seharusnya ia memukul atau menendang Randi lebih keras lagi.

“Lagian kenapa malah ketemu disini?!” gumam Zora kesal sambil menggigiti sedotan di es kelapanya. Sedikit menyesal kenapa ia tak menghabisakn waktunya dengan tidur saja sampai jam buka mall. Tapi dia juga tidak ingin kembali duluan, karena rasanya seakan dia kabur dari Randi. Ya memang benar sih...

Zora memandang sekeliling, suasana pantai mulai ramai. Banyak rombongan yang membawa anak atau pergi beramai-ramai dengan teman-temannya. Mendadak Zora jadi merasa kesepian karena ia cuma duduk sendiri disitu. Tiba-tiba ponselnya bergetar menandakan ada panggilan masuk. Ada nomor tak dikenal yang melakukan panggilan video padanya. Zora tampak ragu tapi kemudian diterimanya.

“Halo nana cantik”

“Eh?? Tante Astri?!” Bu Astri tertawa melihat reaksi Zora.

“Kamu tuh ya, belajar manggil bunda ya sayang, kan mau jadi menantu bunda” Awalnya Zora nggak ngeh tapi begitu sadar maksudnya ia hanya bisa tertawa garing.

“Kamu lagi dimana? Angga mana? Kalian nggak pergi sama-sama?” tanya Bu Astri

“Eh.... Saya di Parangtritis Tante, Eh—Bunda”

“Kamu nggak sama Angga?” Zora terdiam sebentar, mikir dulu, Angga siapa yang dimaksud?

“O... Oh, anu.... Lagi jogging Tan—Bunda”

“Lho jogging sendirian? Kamu ditinggal? Wah anak itu....”

“Saya coba cari dulu ya Tan—Bunda”

“Boleh deh, Bunda mau marahin anak itu, masa calon istrinya ditinggal sih” lagi-lagi Zora hanya bisa tertawa garing. Kenapa para orang tua ini ngebet anaknya nikah, ya?

Zora mencari Randi sambil mendengarkan Bu Astri yang mulai bercerita tentang kelakuan Randi sembari sesekali menjawab pertanyaan dari Bu Astri. Untunglah tak lama kemudian ia berhasil menemukan sosok Randi yang ternyata tengah mengobrol dengan beberapa gadis.

“Buaya” batin Zora. Ia segera mendekat dan menepuk bahu Randi.

“Your mom” kata Zora tanpa suara sambil menunjuk ponselnnya. Untunglah Randi langsung paham walau terlihat sekali kalau ia terkejut.

“Halo bunda, ada apa?” Randi menjawab telepon dari sang bunda sambil memasang earphone di telinganya.

“Kamu tuh ya......” mulailah omelan dari Bu Astri pada putra tertuanya itu.

“Mana Nana, bunda mau ngomong ke Nana juga” Randi melepaskan salah satu earphone di telinganya dan memasangkannya pada telinga Zora yang berada di sebelahnya.

“Nana sayang, Angga memang rada nyebelin, kamu yang sabar ya, terus habis ini kalian mau kemana?” tanya Bu Astri. Randi dan Zora hanya saling berpandangan sebentar saling minta pendapat.

“Ah.... Mungkin ke Candi Borobudur, Ta—Bunda” Randi mengangkat sebelah alisnya mendengar Zora memanggil ibunya bunda.

“Kamu kapan baik ke Surabaya? Sama Angga aja baliknya”

“Eh... Saya mau pulang dulu sebentar, bunda”

“Oh gitu... Bunda kira kalian balik bareng ke Surabaya, ya sudah kalau begitu, kalian hati-hati di jalan ya. Mas Angga jagain calon menantu bunda baik-baik ya, awas kalau Nana kenapa-kenapa”

“Iya, iya bunda” Zora hanya bisa tertawa garing mendengarnya. Kemudian Bu Astri pun mengakhiri teleponnya. Randi mengembalikan ponsel Zora sambil melepaskan earphone yang masih terpasang di telinganya tadi dan memberikannya pada Zora.

“Kenapa kamu manggil ibu saya bunda? Sok akrab”

“Idih jangan ge’er, yang minta dipanggil bunda itu Tante Astri sendiri!!” balas Zora sengit. Ya sebenarnya Randi juga sadar kalau yang minta dipanggil seperti itu adalah ibunya, tapi dia gengsi mengakui. Seorang Alpha, baik male maupun female memang cenderung memiliki harga diri dan gengsi tinggi. Ya seperti saat ini, mereka malah berdebat tak penting.

“Udah ah, sana balik godain cewek-cewek, saya mau balik hotel”

 “Nggak bisa, kita ke Borobudur”

 “Ih kok kita?! Males banget pergi sama situ”

 “Mana sopan santunmu, saya lebih tua”

 “Iya, tahu kok, keliatan, dasar om-om genit” cibir Zora. Randi agak gregetan juga, tajam sekali lidah calon tunangannya itu.

“Bunda pasti akan minta foto bukti, nggak ada foto bukti pun mata bunda ada dimana-mana, kalau kamu nggak mau ribet, lakukan aja, lagian kamu yang usul ke Borobudur” Zora tampak akan protes tapi tak jadi. Benar juga, sekelas keluarga Wijaya tak mungkin matanya hanya satu, bahkan keluarganya saja juga punya banyak mata apalagi keluarga Wijaya. Zora terpaksa setuju dan mengikuti Randi ke mobilnya.

Lihat selengkapnya