“Jadi?”
“Apa?”
“Nana anak yang baik kan? Kapan kamu longgar, mas? Kita harus ke rumah orang tuanya untuk nentukan tanggal pernikahan kalian” Randi sudah tiba di rumahnya dan saat ini tengah mengecek email yang dikirimkan bawahannya sambil mendengarkan ocehan bundanya.
“Bunda kok bisa suka sama Lavanya? Bukannya bunda suka sama cewek yang lembut dan kalem?”
“Kan Nana begitu, mas” Randi menatap bundanya tak percaya. Dari mananya seorang Lavanya Zora Dayana itu kalem nan lembut? Ia masih ingat rasa sakit di leher dan kakinya.
“Ya, oke, Nana nggak begitu, tapi justru disitu yang bunda hargai. Dia nggak pencitraan, dia bersikap sopan pun seperlunya aja dan ya, nggak ada pura-pura. Nggak kayak mantan-mantan kamu dulu, palsu semua. Bunda suka sama Nana, karena itu Nana, karena dia cuma jadi dirinya sendiri”
“Gimana bunda bisa yakin dia nggak pencitraan juga?” Bundanya hanya tertawa kecil.
“Nggak ada anak perempuan yang menyapa orang tua sambil lari kalau dia beneran pencitraan, mas. Bunda memang belum lama kenal sama Nana, tapi bunda yakin dia anak yang baik, kok.”
“Bunda nggak pernah nyuruh siapa gitu buat ngikutin dia? Mastiin kalau dia beneran nggak pencitraan?” Lagi-lagi sang bunda hanya tertawa.
“Sudah, 2 kali malahan, dan dua-duanya mundur ditengah-tengah, dikerjai balik sama Nana” Randi semakin tercengang.
“Bunda yakin mau jadiin dia menantu?”
“Jelas dong, dimana lagi ada anak perempuan kayak Nana, mas” Randi hanya melengos.
“Tadi bunda chat Nana, katanya dia besok balik. Mas cepet selesaikan kerjaanmu ya, Bunda mau ajak kalian jalan-jalan biar saling kenal” Belum sempat Randi protes, sang bunda keburu pergi. Apanya yang saling kenal? Memangnya mereka sudah pasti akan menikah? Dia saja belum setuju, itu kan keputusan sepihak dari orang tuanya. Walau dia juga tidak punya alasan untuk menolak. Saat ini dia memang tidak punya pacar. Kalau mau beralasan fokus bekerja, bisa-bisa papanya mencoret namanya dari daftar pewaris. Lanjut pendidikan juga tidak bisa jadi alasan, dia sudah mendapatkan gelar doktornya 3 tahun yang lalu. Jika dia mencari pacar saat ini dan beralasan ingin menikahi pacarnya itu juga jelas tidak bisa, dia tidak mau ambil resiko memicu amukan bundanya. Lagi pula jelas sekali bundanya sangat menyukai Zora. Tapi apa kemudian dia harus menerima begitu saja? Yang menikah kan dia, bukan orang tuanya?
“Ah nggak tahu deh…” gumam Randi berusaha fokus pada pekerjaannya.
######
Surabaya, kota terbesar di Jawa Timur dan juga merupakan ibu kota provinsi Jawa Timur. Sebutan lainnya adalah kota pahlawan tapia da juga yang menyebutnya ‘kota panas’ sebenarnya itu sebutan Zora sih, karena ia tidak tahan panas. Begitu tiba di apartemennya, ia segera menyalakan AC dan bersiap mandi. Barulah setelah semua urusan ngadem-nya selesai, ia akan mengabari orang tuanya kalau sudah tiba di apartemennya. Zora mengecek pekerjaannya untuk besok. Besok ia akan mendapatkan 2 klien yang ingin konsultasi. Durasi konsultasi seorang klien beragam, bisa satu jam, bisa juga lebih lama, bahkan ada yang bisa sampai 4-5 jam. Tapi di rumah sakit tempat Zora bekerja, waktu konsultasi terlama adalah 3 jam, tidak boleh lebih. Jika ingin lebih maka akan dilakukan diluar jam kerja dan tentu bayarannya juga lebih mahal. Zora menyalakan televisinya dan memutar film yang ada di eksternal harddisknya. Lalu kemudian ia malah ke dapur untuk menyiapkan makanan. Iya, suara di televisi itu menjadi ‘teman’ baginya agar tidak sepi-sepi amat. Sebenarnya di dapur pun ia juga memutar lagu, untunglah dinding apartemennya cukup tebal jadi tetangganya tidak akan terganggu. Zora menyiapkan makanan juga cemilan karena ia berencana begadang menyelesaikan laporan mengenai kliennya, juga mengetik lanjutan cerita novelnya. Tengah asyik memasak, tiba-tiba ponselnya berbunyi, ada panggilan masuk yang ternyata dari Randi. Tanpa basa-basi Randi menjelaskan tujuannya menelpon termasuk pembicaraannya dengan sang bunda.
“Anda punya rencana?”
“Untuk saat ini belum, tapi kalau kamu ada kepikiran rencana untuk menghindar---”