Zora tengah mengecek kembali identitas dan keluhan klien yang akan datang untuk konsultasi. Sesekali ia bertanya juga pada para psikolog senior disana atau kadang ia juga bertanya dan berdiskusi dengan para psikiater disana. Zora termasuk psikolog termuda di sana dan tentu saja pengalamannya masih sangat sedikit, jadi para seniornya disana cukup maklum jika Zora sering bertanya atau minta arahan. Untuk sementara, Zora melupakan kekesalannya karena tiba-tiba dijodohkan begitu. Meski belum ada lamaran resmi dari keluarga Randi, tapi Zora tetap khawatir juga, bagaimana kalau dia benar-benar akan berakhir dengan menikah dengan Randi? Tidak, dia tidak membenci Randi, justru aneh jika dia membenci Randi karena mereka baru kenal. Dia memang agak sebal dengan sikap Randi tapi hanya itu. Dia tahu orang tuanya sangat ingin dia segera menikah tapi dia benar-benar belum memikirkan kesana. Kalau pun ada pikiran mengenai pernikahan, tetap saja rasanya semua ini terlalu tiba-tiba. Selain itu juga dia cukup yakin dia bukan tipe cewek yang disukai oleh Randi. Menurut pengalamannya, biasanya cowok seperti Randi lebih suka cewek yang kalem dan anggun, jangan lupa juga lembut dan halus tutur katanya. Jelas bukan Zora, walau ia juga sebenarnya tidak kasar tapi ia juga tidak kalem apalagi lembut.
"Ah sudahlah, fokus klien dulu aja" gumam Zora.
###
Ada waktu istirahat sekitar 30 menit sebelum konsultasi dengan klien berikutnya. Zora merenung di mejanya sambil berselancar di media sosial. Mencari info atau mungkin bahan gosip untuk dibagikan dengan para sobat julid-nya. Dia sempat terpikir untuk minta pendapat dari teman-teman dekatnya, tapi hubungannya dengan Randi juga belum pasti. Perlukah ia minta pendapat mengenai apa yang sebaiknya ia lakukan? Apakah menolak perjodohan itu atau bagaimana? Satu sisi dia juga ingat perkataan mama-nya mengenai jangan sembarangan menolak lamaran seseorang, takutnya pamali. Tapi Randi juga belum melamar secara resmi jadi seharusnya tidak masalah, kan? Lalu menolaknya bagaimana? Apa dia terus terang saja pada orang tuanya? Sudah dilakukan sih, dan orang tuanya tak menganggapnya serius. Atau terus terang pada orang tua Randi? Sepertinya sulit, karena pasangan suami-istri Wijaya baik sekali padanya. Sering memberinya kue atau cemilan, bahkan merekomendasikan dirinya juga pada teman-teman mereka. Tidak, Zora bukannya merasa berhutang budi pada pasutri Wijaya, ia hanya bingung bagaimana cara menolak yang halus yang sekiranya tidak membuat mereka tersinggung apalagi sedih. Tapi namanya juga ditolak, rasa sedih atau kecewa atau bahkan mungkin tersinggung pasti akan ada saja kan?
"Ish... Nggak tahu ah, sudah kudu balik kerja ini" gumam Zora. Ia memutuskan akan curhat saja ke teman dekatnya nanti malam.
###
Randi memikirkan alasan untuk beragumen dengan orang tuanya. Lagi pula dari sikap Zora kemarin saat mereka bertemu, sepertinya Zora juga belum ingin menikah dan juga tidak setuju dijodohkan begitu saja oleh orang tua mereka. Lalu bagaimana caranya ia terus terang pada orang tuanya tanpa membuat orang tuanya tersinggung atau sedih karena ia lagi-lagi menolak perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya? Tidak, ia tidak akan bisa memakai alasan sudah punya pacar karena bundanya pasti akan marah besar padanya. Semakin dipikir, semakin tidak ada alasan yang terlintas di benak Randi. Rasanya tidak lucu jika ia benar-benar berakhir dengan menikahi Zora. Apakah sebaiknya ia menyiapkan perjanjian pra-nikah saja dengan Zora? Mungkin cerai setelah setahun? Atau dua atau tiga tahun? Seharusnya itu waktu yang cukup, kan? Lalu bagaimana jika semisal salah satu dari mereka atau mungkin malah mereka berdua sama-sama baper? Randi mengacak rambutnya kesal. Ia tidak membenci Zora, ia hanya tidak suka dengan keputusan sepihak kedua orang tuanya. Bukankah ia yang akan menjalani kehidupan pernikahannya? Lalu kenapa orang tuanya yang ngebet sekali begini? Dari pengalamannya selama ini dalam hal pacaran, Zora itu biasa banget sebenarnya. Cewek pada umumnya, lah. Cuma rada slengean aja. Tapi katanya Zora belum pernah pacaran walau usianya sudah 27 tahun? Sebenarnya dia tidak percaya, apa benar wanita usia segitu belum pernah pacaran? Ya mungkin saja jika dia memang tidak tertarik menjalin hubungan. Tapi menurut Randi itu hal yang cukup mustahil. Belum lagi hari ini dia harus mengantar bundanya belanja bersama dengan Zora. Haruskah dia berpura-pura setuju dengan perjodohan kali ini agar setidaknya orang tuanya tidak kecewa lagi? Atau perlukah ia berharap kalau Zora lah yang akan menolak perjodohan ini agar ia tak perlu bingung mencari alasan?
"Mas Rahman, saya mau nanya" panggil Randi. Rahman adalah sekertarisnya. Dia sudah 5 tahun bekerja dengan Randi dan kerjanya bagus. Randi sengaja tidak memilih perempuan sebagai sekertarisnya agar tidak sampai menimbulkan skandal di kantornya sendiri. Rahman 2 tahun lebih tua dari Randi dan sudah menikah serta memiliki 3 anak. Mungkin ia bisa memberi saran mengenai apa yang sebaiknya dilakukan oleh Randi mengenai perjodohannya kali ini. Setidaknya begitu pikir Randj.
"Tanya apa, mas bos?" Tanya mas Rahman. Randi menjelaskan apa yang ia alami, termasuk juga sikap Zora padanya.
"Waduh mas bos, kalau saya di posisi mas bos ya, saya sih terima aja, soalnya takut pamali bos, melawan orang tua. Lagian katanya restu ortu kan jalan terbaik, mana tahu ini memang jalan yang harus dijalani, kan?"
"Aduh mas, dia itu bukan selera saya banget masalahnya"
"Iya, tapi ada pepatah lama yang bilang begini, bos "witing tresno jalaran soko kulino" kita kan nggak tahu gimana nanti, kalau saran saya sih, bos terima dan jalani dulu aja, atau minimal bos pertimbangankan dulu, soalnya nikah kan juga bukan perkara mudah" jelas Mas Rahman. Randi hanya mengangguk-angguk mengerti. Sebenarnya ia sudah menduga jawaban sekertarisnya akan seperti itu karena mas Rahman ini tipe anak yang nurut sekali dengan orang tuanya dan selalu berusaha menyenangkan orang tuanya.
"Sudahlah, gimana nanti aja" gumam Randi.