Alpha vs Alpha

mikaji Al daufan
Chapter #6

#6

Makanan sudah dihidangkan di meja makan, sederhana saja, hanya sup bakso dan ayam goreng, tahu goreng dan tempe goreng.

"Bunda senang deh kamu masaknya cepet, nduk" puji Bu Astri. Zora hanya bisa tertawa canggung. Sebenarnya dia tadinya berniat menanyakan pada Bu Astri kenapa beliau ingin Zora menjadi menantunya, tapi dari suasananya sepertinya tidak etis untuk bertanya begitu. Bagaimana kalau beliau tersinggung? Tapi bukankah dia juga berhak bertanya? Lagipula semuanya rasanya begitu cepat dan tiba-tiba. Ia tahu kalau keluarganya dan keluarga Wijaya adalah rekan bisnis, tapi kenapa pula keluarga Wijaya ingin ia menjadi menantu mereka? Sebenarnya apa yang dilihat oleh Bu Astri dan Pak Hartono hingga ingin dirinya menjadi menantu mereka?

"Bunda, paman, saya mau tanya, tapi sebelumnya maaf banget kalau sekiranya saya lancang..." Kata Zora hati-hati.

"Tanya apa, nduk?" tanya Pak Hartono. Zora berusaha memantapkan diri, kalau pun setelah ini ia diusir dari sana, biarlah, setidaknya ia perlu kepastian.

"Kenapa... Kenapa bunda dan paman ingin saya jadi menantu anda?" Tanya Zora. Sebenarnya ia gentar juga bertanya begitu, tidak, bukan karena keluarga Wijaya yang levelnya diatas keluarganya, tapi lebih karena ia merasa sudah kurang ajar pada orang yang lebih tua. Selama beberapa saat semuanya diam termasuk Randi yang pasang mata dan telinga baik-baik. Tapi tak disangka, Bu Astri dan Pak Hartono malah tertawa. Tentu saja Randi dan Zora heran, kok malah ketawa?

"Hahaha.... Aduh.... Sebentar, maaf ya nduk, dasar kamu tuh ya, ndak pake basa-basi langsung sat set aja"

"Ya sebenarnya wajar sih kamu nanya begitu, tapi papa ndak ngira kamu bakal langsung nanya" kata Pak Hartono, Zora makin heran, apa pasutri Wijaya ini serius ingin menjadikan dirinya menantu mereka?

"Gini, bunda memang kenal kamu belum lama, tapi bunda tahu kamu anak baik, dan kenapa bunda pengen kamu jadi menantu bunda? Karena bunda merasa cocok aja sama kamu, Angga sudah berapa kali bawa pacar ke rumah tapi rasanya ndak ada yang cocok sama bunda" jelas Bu Astri. Pak Hartono mengangguk-angguk setuju.

"Kami juga merasa kamu bakal cocok sama Angga, apalagi kalian sama-sama keras, seru tuh" kata pak Hartono santai. Zora makin tercengang, alasannya karena itu? Berdasarkan feeling semata, dong?

"Oh iya, mumpung lagi diomongin, kamu kapan nduk kira-kira pulang? Biar sekalian diatur tanggal kami bisa kesana melamar resmi" Randi tersedak sampai batuk-batuk, karena Zora yang duduk disebelahnya, tentu saja Zora mengambilkan air dan menepuk-nepuk punggungnya.

"Tuh kan, kalian itu cocok loh, sudah sama-sama cukup umur dan mapan juga, tinggal nikah aja" kata Pak Hartono setengah menggoda, sementara Bu Astri hanya tertawa kecil.

"Mas Anggak ndak usah nervous gitu makanya mas" Bu Astri malah ikutan kompor.

"Bunda, papa, ini kan keinginan kalian, tapi gimana dengan kami yang menjalani? Kalau kami nggak mau gimana?" Tanya Randi.

"Memang kamu ndak mau itu kenapa, mas? Pacar ndak ada, mapan sudah, umur juga mestinya anaknya sudah masuk TK, apa lagi? Kamu ndak percaya sama penilaian bunda?" Tanya Bu Astri, walau beliau tersenyum, tapi Zora sekalipun merasa terintimidasi.

"Ada pacar kok" kata Randi cepat, jelas bohong sih.

"Gini ya mas, Nana juga, kalau kalian memang ndak mau, kasih alasan yang jelas, kami menghormati keputusan kalian kok, tapi kami ndak terima alasan "belum siap" karena kalian itu sudah siap cuma males aja, ya kan?" Kata Pak Hartono, Zora mau tak mau mengakui kalau itu benar juga, daripada belum siap mungkin lebih tepatnya dia tidak ingin pusing memikirkan kehidupan pernikahan dan masih ingin bersenang-senang sendiri. Lagipula ia juga ingat pesan ibunya, jangan sampai menolak lamaran, takutnya pamali, apalagi kalau dari keluarga baik-baik. Keluarga Wijaya jelas masuk golongan itu ditambah kedua orang tua mereka juga sudah saling kenal.

Baik Zora maupun Randi sama-sama diam, mereka ingin berkilah tapi mereka juga tak menemukan alasan yang tepat, tapi jika menerima begitu saja rasanya kok tidak puas, seperti menyerah sebelum berjuang.

"Saya sepertinya pulang bulan depan, bunda" kata Zora setelah diam beberapa lama, haruskah ia ambil resiko saja dan menerima lamaran ini? Apa mungkin ini jalannya? Dia hanya tidak ingin mengecewakan orang-orang yang sudah baik padanya. Lagipula bukankah restu orang tua juga yang utama? Toh jika memang Randi bukan jodohnya, bisa diurus nanti, ada opsi bernama perceraian.

"Syukurlah, kalau gitu nanti kamu kabari bunda atau papa ya nduk kalau mau pulang, terus juga, kalau misal kamu longgar, nanti jalan-jalan sama bunda ya" kata Bu Astri semangat. Ayolah, bagaimana bisa Zora menolak jika beliau begitu senang dan bersemangat begitu. Sedangkan Randi, ekspresinya tak terbaca, tapi dia memilih diam. Belum waktunya ia melawan, jika waktunya tepat mungkin dia akan melawan. Mungkin.

"Ya sudah, mas anterin Nana pulang ya, anter aja jangan macem-macem, masih belum sah" kata pak Hartono jahil. Randi hanya memutar mata tak minat. Setelah selesai makan dan membereskan meja (sedikit ada perdebatan antara Bu Astri yang melarang Zora cuci piring sedangkan Zora memang terbiasa langsung mencuci piring sendiri begitu selesai makan), Zora pun berpamitan pulang, tak lupa Bu Astri membawakan jajanan untuk dibawa pulang Zora.

Sepanjang perjalanan pulang, mereka sama-sama diam. Randi sibuk dengan pikirannya, Zora pun memikirkan bagaimana kedepannya.

"Mau bikin perjanjian pra-nikah?" Tanya Zora. Untung saja mereka tengah berhenti karena lampunya merah.

"Hah?" Zora hanya mengangkat bahu.

"Perjanjian pra-nikah, situ tega menolak? Saya sih nggak tega, jadi mungkin jalan lain ya bikin perjanjian pranikah kan?"

"..... Jadi kamu nggak akan nolak lamarannya?"

"Ya enggak, gimana bisa nolak kalau camer saya segitu senangnya, tinggal anda aja nih, bisa diajak kerja sama nggak, calon suamiku?" kata Zora, sekilas Randi merasa seperti melihat seringai jahil Zora padahal ekspresi Zora datar-datar saja. Randi mengacak rambutnya kesal. Yang dikatakan Zora memang benar, tapi entah kenapa dia merasa kalah. Tapi kenapa dia merasa begitu? Zora kan hanya mengusulkan sesuatu? Kenapa dia malah merasa kalah begini?

"Pusing ya? Ya sudah, bisa anda pikir dulu, yang jelas, kalau saya, nggak akan menolak lamaran, selain pamali, saya nggak tega menolak, orang tua saya dan camer sudah se senang itu, gimana saya bisa nolak" kata Zora lagi, ia memilih untuk memandang keluar, memandangi lampu jalan dan gedung-gedung, suasana malam di kota Surabaya.

"Perjanjian macam apa?" Tanya Randi.

"Mungkin 2 tahun pernikahan, lalu setelah itu terserah?"

Lihat selengkapnya