Baik Zora maupun Randi sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing sehingga nyaris melupakan tanggal lamaran resmi mereka. Kalau bukan karena sang Bunda yang menyiapkan hantaran saat lamaran dengan semangat, mungkin Randi akan melupakan kalau tanggal lamarannya sebentar lagi. Untuk hantaran, sebenarnya Zora tidak minta macam-macam, ia cuma minta disesuaikan saja. Awalnya Randi bingung juga, tapi setelah berdiskusi dengan orang tuanya, dan bertanya pada beberapa temannya yang sudah menikah, ia akhirnya dapat menyiapkan hantaran tepat waktu.
Salah satu hantaran yang paling mencolok adalah satu kotak gundam edisi terbatas dan satu figure karakter anime. Randi berhasil mendapatkannya dengan bantuan Rindra. Sebenarnya Gundam dan figure itu benar-benar tambahan saja, karena ia ingat saat melewati toko mainan di mall saat dia pergi dengan Zora, wanita itu sempat melipir masuk dan berlama-lama di rak yang memajang Gundam dan figure anime.
Kalau dipikir-pikir, Randi ingat beberapa hal kecil mengenai Zora, misalnya dia yang suka bermain claw machine walau sambil menggeram frustasi, dia yang betah berlama-lama di toko buku di bagian rak komik karena sibuk menghitung total harga komik incarannya, dia yang diluar tampak tegas dan galak tapi ternyata berteriak ketakutan juga saat menonton film horor, dan mudah menangis bahkan pada hal yang sepertinya tidak perlu ditangisi (dia pernah mendengar dari Rindra kalau Zora masih menangis jika menonton anime atau membaca scene tertentu di komik dimana salah satu tokohnya mati) atau dia yang tidak jaim saat mereka makan bersama. Randi kadang bingung juga dengan dirinya sendiri, menurutnya ia mengingat beberapa hal kecil tentang Zora karena mereka akan menikah kontrak, tapi apa benar memang cuma karena itu? Atau apa dia mengingat hal itu karena kebetulan saja? Atau mungkin karena Zora sedikit berbeda dari mantan-mantannya sebelumnya? Atau... Apa mungkin dia menyukai Zora? Randi segera menepis pikiran anehnya, ia yakin ia ingat hal-hal itu karena Zora terlalu random. Bukan dalam arti negatif karena justru karena hal itu Randi malah jadi mengingat Zora.
"Mas bos, mas bos, halooo?" Randi tersentak dari lamunannya mendengar suara sekertarisnya itu.
"Eh, iya, kenapa mas Rahman?"
"Mas bos ada masalah, ta? Mungkin mau cerita?" tanya Mas Rahman heran, karena tak biasanya Randi melamun saat bekerja.
"Oh iya mas bos, saya dengar dari ibu katanya mas bos mau lamaran ya? Selamat ya mas bos semoga lancar semua," Randi tidak tahu harus menanggapi bagaimana, jujur saja perasaannya sedikit campur aduk. Dia merasa cemas juga dengan acara lamaran yang akan diadakan, tapi dia bingung juga kenapa dirinya cemas. Apa yang ia cemaskan? Bukankah dia dan Zora hanya akan menikah kontrak?
"Calonnya orang mana mas? Atau jangan-jangan mas bos dijodohkan?"
"Iya mas Rahman, saya dijodohkan..."
"Oalaaah, makanya mas bos kemarin nanya ke saya itu ya? Terus kenapa kok kusut gini mas? Takut ketemu camer?"
"Eh bukan sih mas, sebenarnya saya juga bingung kenapa..."
"Tapi mas bos gimana sama calonnya? Suka, kan?"
Sebelumnya jika ditanya seperti itu saat baru pertama kenal dengan Zora, ia bisa menjawab dengan yakin kalau dirinya tidak suka. Tapi entah kenapa kali ini rasanya ia tidak bisa menjawab.
"Nggak tau sih mas..."
"Lha kok ndak tahu tho mas bos?"
"Ya pokoknya gitu, sudahlah nggak usah dibahas," Randi berusaha menyibukkan diri dengan revisi dokumen di laptopnya walau ia juga risih dengan tatapan penasaran sekaligus meledek dari Rahman.
Tentu saja Rahman juga tahu kalau di luar kantor, Randi itu playboy, entah sudah berapa kali pacar atau mantan Randi datang ke kantor dan membuat keributan. Lalu kali ini akhirnya sang bos serius dengan perjodohannya. Tentu saja Rahman ikut senang, dia bersyukur semoga dengan ini tidak akan ada keributan atau drama lagi karena ulah mantan Randi yang datang. Dan berdasarkan yang ia dengar dari Bu Astri, calon Randi ini berbeda dari mantan-mantannya sebelumnya dan yang utama, Bu Astri dan Pak Hartono menyukainya. Rahman bisa menebak kalau calon Randi ini pastinya bukan dari keluarga biasa, setidaknya walau mungkin misalnya tidak sekaya keluarga Wijaya, tapi masih tergolong kalangan atas. Melihat sikap Randi, Rahman cukup bisa menebak kalau awalnya Randi tak setuju dijodohkan tapi mungkin ia juga berusaha untuk menerima saja dan menjalaninya.
"Mas bos, saya ngingetin aja ya, witing tresno jalaran soko kulino, mas," Randi hanya diam, dia berusaha tak terlalu memikirkan kata-kata Rahman dan fokus saja pada pekerjaannya walau bayang-bayang acara lamarannya masih juga terlintas.
"Sudahlah, jangan dipikir, jangan dipikir," batin Randi.
#########
"Jadi ngapain deh elu kesini?"
"Idih judes amat, kak,"
"Ya lagian, elu bukannya pulang sana persiapan lamaran malah kesini,"