Alphabet

Meydin.Al
Chapter #4

Chapter D

Dimeja Cafe yang berlokasi dekat area kampus. Betha mengubur wajahnya pada lipatan tangan.

Cahaya Senja Berlomba Menyerobot masuk menembus kaca Cafe. Deru mobil terdengar samar dari tempatnya duduk. Udara bulan November masih terasa menyengat.

Seseorang menepuk punggungnya pelan. Tidak sudi jam tidurnya diganggu. Ia mengerang dengan mimik kesal. Tetapi kejengkelannya mereda saat tahu Im Jihan pelakunya.

Jihan mendaratkan dua gelas es americano yang baru dibawanya dari kasir. Gadis berkulit pucat bersih putih itu tersenyum hangat.

"Kali ini aku yang traktir" ucap Jihan sambil berlalu. Kemudian menarik kursi didepan Betha, "Bagaimana kabar Mamamu?"

"Seperti biasa. Sangat bersemangat dengan butiknya" jawab Betha malas lalu menyeruput minumannya.

Jihan terkekeh, "Aku suka Mama mu. Pekerja Keras"

"Ya, Tapi Mama terlalu bekerja keras. Setelah semua yang terjadi. Aku benar-benar hanya melihat Mama yang memaksakan diri. Bekerja. Bolak-balik ke apartement ku lalu Pulang. Minggu Ini sudah terhitung 5 kali Mama datang" ucap Betha miris. Satu tangannya Memainkan sedotan didalam gelas.

"Sejujurnya aku tak ingin membahas ini. Kau tak mencarinya lagi bukan?" Tanya Jihan begitu pelan. Ada nada keraguan dihatinya untuk menanyakan hal tersebut.

Dirinya tentu tahu apa yang Betha alami. Tak ingin terlalu membahas lebih atau merujuk hingga membuat emosional sang kawan hancur berantakan. Ia mencoba mengerti sebagai Teman yang menemaninya sejak masih anak ingusan.

"Tentu saja. Hanya membuang waktu berharga ku. Meski begitu, beda lagi dengan pendapat Mama. Sekalipun bilang 'Tidak perlu'. Tapi aku yakin Mama selalu memikirkannya" Betha menjeda ucapannya sesaat, "Memberitahunya pun hanya percuma. Mama Tak akan mendengarkan ku"

Kemudian gadis itu meringis, "sudahlah. Membahasnya hanya membuatku tambah pusing"

Jihan tersenyum, "Aku mengerti". Lalu melanjutkan sembari menggoyangkan gelasnya, "Ah, Bagaimana Hubungan mu dengan John Alpha itu?"

Detik berikutnya Betha mendengar kasar. Bila diingat Kejadian hari lalu bersama lelaki itu. Agaknya membangkitkan rasa frustasinya.

Bahu Betha mengendik. Ia menerawang, "Entahlah" ia terdiam sejenak, "Selama ini kami seperti orang asing. Tetapi tiba-tiba dia datang dalam hidupku dan mulai berbicara melantur seperti itu".

Jawaban itu membuat Jihan berkedip-kecil melamun, "hmm. Coba kau pikirkan ulang. Misal, sebuah kesempatan untuk mu. Serendipity?. Kau pernah mengatakannya padaku. Anggap saja seperti itu"

Serendipity?*

*Sebuah ketidaksengajaan yang menyenangkan

Ia memang pernah mengatakan hal itu. Hal itu terjadi Saat Betha yang harus hemat di akhir bulan dengan keadaan uang yang miris. Tapi siapa sangka— Dirinya menemukan Undian Kupon Ayam goreng selama 1 Hari penuh. Mengingatnya membuat Betha sangat kagum dengan peruntungannya.

Tapi ini kan bukan tentang Mirisnya saat di Akhir bulan. Ini sudah berbeda Alur lagi. Dan sekarang ia justru mempertanyakan peruntungannya.

Belum sempat Betha menjawab. Jihan lebih dulu menyela kembali, "fikirkan saja untuk kau juga mendapat keuntungan. Ini bukan pernyataan Cinta sungguhan. Harusnya kau tak perlu pusing. Buatlah sebuah keuntungan untuk mu sendiri. Misal, Tugas mu yang berantakan kemarin"

"Kau ingin, aku memintanya mengerjakan Tugasku?"

Jihan mendengus kesal. Merotasikan matanya dengan helaan nafas kasar. Menepuk jidat nya seraya merapal agar Tuhan mau berbaik hati pada kehidupannya.

"Bukan begitu, sayang ku. Minta dia untuk membantu mu. Ingat, Bantu. Bukan berarti harus mengerjakan tugas mu", "sedikit memanfaatkan situasi tak akan melukai siapapun. Dia untung, kau pun untung. Lagipula kau tak mencintai nya,bukan? Itu tak sulit"

Betha merasa hilang arahnya. Benaknya merasakan kepeningan yang mencekam.

Tidak mencintainya? Jika dikatakan itu akan mudah saja. Tapi Perasaannya saat ini, sangat menjadi pertanyaan.

Namun di lain sisi Jihan benar, harusnya ini lebih mudah sejak awal.

▪︎▪︎▪︎▪︎

Bagi John Joan Alpha, tidak ada yang lebih mengasyikkan selain menyibukkan diri dengan seluruh resep makanan nya didapur.

Mata yang menatap serius sarat akan fokus adalah potensi mutlak baginya, juga tangan serta otak yang harus berguna lebih tepat untuk meracik masakan yang sedap. Ia sudah berulang kali bereksperimen untuk membuat resep 'Janchi Guksu'. Membuat adonan mie nya sendiri agar tekstur serta bentuknya sesuai keinginan. Mendapatkan daging sapi dengan kualitas terbaik, langsung dari perternakannya. Memastikan setiap bahan yang ia campur pas— Tak lebih atau kurang.

*Janchi Guksu; Soup Mie dengan Kuah sapi, kaldu ikan dan Kombu (Ganggang laut).

Dia membuat dan mencicipi sekurangnya sepuluh kali sampai rasa, tekstur mendekati nilai sempurna. Alpha hanya ingin membuat masakannya terasa hangat untuk menggugah nafsu makan. Mengingatkan setiap pengunjung akan masakan rumah.

Alpha sudah mendirikan restorant nya selama kurang lebih 2 tahun terakhir. Meski tak langsung mendapat sambutan yang meriah. Namun bisnisnya masih termasuk dalam kategori Sukses.

J'Fin.

Ia membangun J'Fin dengan seluruh uang tabungannya. Meski tak sepenuhnya cukup, Alpha menjadi harus rela menjual Motor besar pemberian mendiang Kakeknya. Sedikit menyesal sih. Tapi itu tak masalah baginya. Kakeknya adalah orang yang paling pengertian untuk Alpha dari seluruh keluarganya.

Lagipula sekarang ia memiliki restorant yang bagus. Meski belum dalam artian mewah. Tapi masakannya sudah cukup mendapat banyak peminat dan cinta dari luaran sana.

Pukul sembilan belas lewat sepuluh menit, pria itu melirik jam tangannya. Setengah jam lagi dirinya harus pulang— Walau malas. Karena dirinya tak pulang untuk beristirahat atau bersantai seperti biasanya.

Alpha akan pulang kerumah sebenarnya. Tempat yang orang sebut sebagai kehangatan. Tempat yang orang katakan selalu dirindukan.

Tapi tidak untuk John Alpha. Tak ada istilah seperti itu baginya. Rumahnya selalu terasa dingin. Tak ada setitik sinar surya disana.

Dengan Helaan nafas berat. Alpha mengugat rambutnya kebelakang. Menyandarkan pinggang nya pada tepi pantri.

Sejenak Alpha merasakan sesak di dadanya. Fikirnya terasa kosong jika untuk meneruskan membuat Resep baru untuk masakannya.

Beralih melepas apron nya dengan terburu. Menatap jam tangannya sesaat sebelum berlalu dengan rasa dongkol.

Ia harus menemui Pak Tua itu. Meluruskan apa yang harus ia benarkan.

Tuan John yang terhormat pasti sudah menunggu.

▪︎▪︎▪︎▪︎

Tak ada alasan yang penting untuk Alpha harus kembali kerumah nya. Tak ada hal yang ingin ia lihat atau temui dirumah ini. Semuanya terasa seperti di kutub Utara. Dingin. Kaku.

Di rumahnya tak ada Ibu dan ayah yang harmonis. Berbagi banyak kehangatan serta senyum tawa canda yang sangat menenangkan. Disini sangat Asing.

Kini Rumah lamanya telah di isi keluarga kecil ayahnya. Setelah bercerai dengan sang ibu dalam kurung waktu beberapa bulan. Sang ayah—John Darren— memutuskan untuk kembali menikah. Membangun keluarga nya sendiri hingga tak sadar kedua anaknya tak pernah sedikitpun menerima kehadiran Wanita itu. Mereka hidup bersama namun itu tak akan membuat kedua anak belia itu menjadi satu kubu. Mereka hidup dalam dua kutub yang berbeda. Sampai di usia dua puluh empat tahun Alpha dan Adik nya —John Zhavanya— memutuskan untuk hidup masing-masing. Dengan Tujuan mereka sendiri.

Sangat mengerikan setiap kali ia harus teringat Semuanya. Beberapa kali pun dia harus menahan rasa mualnya setiap kali melihat mereka.

Dentingan piring yang beradu dengan sendok dan garpu mengisi ruang makan. Tak membiarkan suara sunyi yang tercipta diantara mereka segera lenyap. Walau sesekali John Jeno —yang berusia 7 tahun— berseru mengatakan banyak permainan menarik di Nintendo miliknya.

"Kak Alpha nanti bermain dengan ku ya. Overwatch paling ku suka. Ayah juga sering bermain bersama ku. Benar kan Ayah?"

Sesekali sang ayah pun hanya membalas dengan senyum seolah antusias. Atau berdeham mengiyakan.

"Kak Alpha nanti main,ya?" Dan Alpha hanya membalas dengan senyum seadanya. Mungkin bisa, jika sang Ayah bisa membuat negosiasi baik dengannya.

Ia jadi berharap masa kecilnya bisa seperti itu. Banyak bercerita pada sang Ayah. Mengatakan banyak hal apa yang terjadi pada harinya. Tertawa saat sang Adik merasa iri karena dia memiliki jatah susu pisang lebih banyak. Tapi nyatanya ia tak memiliki hal semacam itu untuk bisa dilakukan. Terlalu menyedihkan untuk dikenang.

Disisi lain, Elina Jane —Istri sang ayah. Yang tak akan ia sebut sebagai Ibu— nampak merasa canggung untuk memulai perbincangan. Beberapa kali dirinya berdeham. Mencoba mencairkan suasana. Menawari Alpha untuk menambah lauknya atau sekedar basa basi dengan pertanyaan seputar kehidupannya.

Memuakkan, fikir alpha dalam hati.

"Kami sungguh merindukan mu, sayang. Senang kau bisa mengunjungi kami" ucap Elina dengan lembut. Namun tak ada respon positif dalam diri alpha pada wanita itu.

Mau bagaimanapun, kau tetap saja jalang. Seru nya dalam hati.

"Iya. Kak Alpha kenapa tidak sering saja main kemari?" Seru Jeno dengan semangat. Namun kembali, Alpha hanya balas dengan Senyum kecil. Jeno masih terlalu kecil, tak seharusnya untuk tau banyak fakta mengerikan seperti ini. Dan Alpha pun tak bisa melampiaskan rasa tak sukanya begitu saja pada Anak kecil seperti Jeno. Ia tahu batas untuk melihat siapa yang kau benci dan tidak perlu ikut campur.

Lihat selengkapnya