"Kau sudah bicara dengannya?"
Betha menggeleng. Menatap Jihan didepannya dengan tatapan tak minat.
Ia kan tak mencoba untuk menghindarinya. Dua hari belakangan ia sudah berusaha untuk berbicara pada pria itu. Namun nyatanya Betha tak bisa menemui nya.
Apartement nya kosong.
Saat bertanya pada salah satu petugas Apartement, 'Apa Pemilik apartement sebelahnya sudah pindah?' Ia malah mendapat jawaban, 'Tidak. Tuan John masih menempatinya'.
Betha sempat berburuk sangka, Apa Alpha mempermainkan nya?
"Cih. Dasar Betha. Kalau kau seperti itu, tugasmu tidak akan selesai" ujar Jihan.
Betha merotasikan matanya. Mengalihkan pandangan dari laptop didepannya. Menatap sekitar Taman kampus dengan sedikit helaan nafas tak kentara. Mendadak ia ingin minum kopi Expresso, "Sudah ku bilang, bukan? Alpha tidak di Apartement nya beberapa hari ini. Apa yang ku harapkan?"
"Kan bisa kau hubungi. Memang kau tidak punya nomor ponselnya?"
"Astaga. Tidak Ada Jihan-ssi. Aku tidak memiliki nomor ponselnya" gerutu Betha.
"Kau kesal padaku?"
"Tidak. Aku salah"
Sebenarnya, Perasaannya sedang tidak baik sekarang. Mendengar penuturan Jihan tadi justru membuat suasana hatinya kian tak membaik.
Sekian detik kemudian, ingatan Betha berputar di beberapa jam lalu. Saat penghidu nya menghirup samar aroma alkohol dari tubuh Alpha. "Bagaimana menurutmu saat kau mencium aroma samar alkohol dari tubuh seseorang?" sela Betha dengan cepat.
"Tubuh siapa yang kau maksud?"
"John Alpha" Singkatnya Perkataan itu langsung mampu Menarik atensi seorang Kim Jihan, membuat sang teman lekas menutup buku Sastra nya. Memandang penuh rasa ingin tahu pada temannya itu.
"Benarkah?"
"Apa menurutmu dia mabuk? Lagi?"
"Kurasa begitu. Apa itu tadi pagi?"
Betha mengangguk, "Iya. Aku mencium aromanya samar-samar tadi pagi. Tapi kenapa?"
Jihan hanya mengendikkan bahunya lalu berucap, "Entahlah. Dia mungkin memiliki alasannya sendiri. Bukankah begitu?"
Betha mengangguk. Bisa saja begitu.
"Atau juga karena dirimu, Betha. Kau lama memberinya jawaban akhirnya dia frustasi sampai menghilang selama dua hari dan pulang dengan keadaan mabuk seperti itu" ucap Jihan dengan tiba-tiba.
Membuat Betha lekas menoleh dengan mengerutkan keningnya, bingung. "Kau gila. Tidak mungkin. Apa bisa sampai segitunya? Kau pasti bercanda?" Sesaat Betha terdiam, lalu kembali menyela dengan cepat, "Bagaimana kalau benar?"
"Ah. Itu masalahmu" seru Jihan. Sejujurnya, Dirinya hanya bicara asal saja. Jihan pun tak berpikir jika kemungkinan nya seperti itu
"Tidak. Pasti tidak. Bagaimana mungkin bisa sampai segitunya,kan?"
"Tidak ada yang tahu, Betha. Mungkin saja iya. Mungkin juga tidak"
Benar juga. Betha mengerjap kan matanya beberapa kali. Jika di fikir tidak ada yang tahu juga ada apa dan mengapa nya?
Tapi jika memang hanya karena dirinya itu jelas Aneh. Apa sampai seberpengaruh gitu?
Betha hendak kembali membuka suara kearah Jihan. Sebelum pandangannya mengarah pada Seseorang yang berjalan kearah mereka. Dalam jarak beberapa meter dari tempat mereka duduk. Memandang dengan senyum yang mengembang tinggi. Paras rupawan yang dimilikinya begitu mampu menarik atensi siapapun di dekatnya untuk terpana.
Lihatlah beberapa gadis yang sampai menganga melihatnya bak model sampul majalah.
Astaga, Ryu Jiro memang selalu luar biasa.
Betha kadang sampai tak menyangka, jika orang yang sedang di perhatikan itu teman nya dan Jihan.
"Apa yang sedang kalian bicarakan?" Ujar Jiro saat sudah didekat mereka.
"Bukan apa-apa" Betha mengatakannya dengan perlahan. Dan hanya mendapat sambutan senyum kecil dari sang lawan.
"Dua Cappucino untuk teman-teman ku yang cantik" ucapnya sembari meletakkan dua gelas minuman diantara keduanya. Memutuskan untuk menempati satu bangku kosong disamping Betha.
"Wah, Thank You"
"Kau baik sekali. Terima kasih Ryu"
Jiro hanya mengangguk.
Sementara Betha justru mengigit sudut bibirnya ragu. Menatap minumannya sekilas, sebelum menatap Jiro dengan kedua mata yang nampak berbinar, "Ryu. Apa milikmu Expresso?" Jiro mengangguk agak bingung.
"Boleh aku ambil yang punyamu saja?"
Oh, Astaga. Jiro hampir ingin tergelak melihatnya. Wajah Betha saat mengucapkan nya terlihat lucu. Persis seperti anak kecil meminta permen pada orang dewasa.
Padahal dia tak perlu berlaku seperti itu dan langsung jujur saja. Itu tak akan masalah baginya.
"Tentu. Tumben sekali"
"Hanya sedang ingin" ucapnya dengan iringan senyum meraih minuman milik Jiro. Menyeruputnya pelan hingga sensasi pahit dan manis kopi menyentuh lidahnya.
Ini yang ia maksud. Ia butuh rasa pahit menyentuh lidah lalu tenggorokan. Membiarkan pahit dan manisnya larut secara bersamaan.
Sesuatu yang manis tak akan terasa menyenangkan jika hanya rasa manis saja. Terkadang butuh hal lebih dari itu.
"Bagaimana lukisan hari ini?" Tanya Jihan.
Membuat atensi Betha kearah Jiro secara penuh.
Temannya itu memang memiliki kesibukan yang padat beberapa hari ini. Berada di Jurusan seni dengan kemampuan yang tak biasa. Dan Karena bakatnya itu ia membuat kagum beberapa Dosen. Dirinya pun kini telah menjadi Asisten Dosen di jurusannya. Mengurus untuk beberapa lukisan para rekannya yang akan di pamerkan dalam festival kampus nanti.
Dan sebagai teman nya, Betha maupun Jihan merasa sangat bangga atas prestasi Jiro.
Tapi sayangnya, karena terlalu sibuk justru mereka jadi jarang bertemu dan berbincang bersama.
"Masih belum ada yang membuat ku terkesan. Apa aku perlu sedikit kasar saat mengajar nya?"
"Hei, jangan begitu. Kau justru akan membuat mereka takut dan semakin memburuk nanti"
Mereka tertawa kecil. Tak terbayangkan jika sampai Jiro harus marah-marah dan mengajar dengan keras. Selama beberapa tahun mengenal Jiro mereka belum sedikitpun melihat sisi seperti itu dari Ryu Jiro.
"Nanti kalian akan ikut,bukan? Festival kampus?"
"Tentu. Aku sungguh menantikannya" ucap Jihan.
"Baguslah. Kalian harus datang ke stan ku juga"
"Tapi—" ucapan Betha terhenti. Kedua manik coklat nya menatap ponselnya dengan bingung.
Kedua orang disana yang melihatnya tertegun. Memandang Betha yang mendadak jadi aneh hanya dalam hitungan detik. "Ada apa denganmu?" Tanya Jihan menyenggol lengannya dengan Bolpoin.
"Apa kita sudah memiliki rencana dengan ketua jurusan?"
"Entahlah. Dia tidak mengabari ku atau— belum"
▪︎▪︎▪︎▪︎
Saat awal masa ospek mereka dulu. Jihan sempat ditunjuk sebagai ketua Mahasiswa untuk mahasiswa-mahasiswa baru. Dan kini dirinya pun ditunjuk sebagai kepala angkatan kedua jurusan Sastra.
Dalam hatinya Ia sungguh merasa senang memiliki teman yang luar biasa. Menjadi kepala angkatan untuk para mahasiswa pasti sangat merepotkan.
Jihan sering mengeluh Karena itu, sebenarnya. Tapi terkadang dia juga mengatakan menyenangkan saat akhirnya memiliki banyak teman lain.