Alphabet

Meydin.Al
Chapter #7

Chapter G

Ditemani Bintang yang benderang. Irama sayup jangkrik yang bernyanyi dan aroma hangat kuasa pedesaan. Menemani keduanya di Teras Rumah.

Paman Hyunsoo mencoba meracik sebuah Kopi hasil ladangnya. Menumbuk biji kopi yang sudah disangrai hingga menjadi butiran kecil layaknya pasir. Ditemani John Alpha di sisinya, gitar yang ia pangku sesekali di mainkan.

Menciptakan keheningan disela dunia mereka sendiri.

Gitar yang Alpha gunakan adalah milik Anak Paman Hyunsoo. Namun, karena lama tak digunakan. Paman merasa tak yakin apa Benda itu masih bisa dimainkan atau tidak.

Dan Alpha akan mencoba memperbaiki nya jika memang ada yang tak berfungsi.

"Bagaimana kabar adik mu?" Tanya Paman Hyunsoo disela aktifitasnya.

"Dia baik"

"Kau tahu,Al. Daripada Anak ku sendiri, terkadang aku lebih mengkhawatirkan kalian berdua"

Jemarinya yang sempat menekan kunci G, terhenti. Mendongak kan kepalanya, menatap lekat kearah sang paman, "Paman tak perlu khawatir. Kami baik-baik saja. Vanya juga sering menelfon ku dari biasanya"

"Syukurlah"

Bukan maksud ia menghargai rasa khawatir sang Paman maupun Bibi. Namun daripada butuh rasa kasihan, Alpha fikir dirinya hanya butuh dukungan. Untuk Restorannya atau pun hidupnya sendiri.

"Aku sudah mendengar tentang perjodohan mu" mendengarnya, Alpha hanya menyunggingkan satu sudut bibirnya. Relasi memang memperngaruhi segalanya, "Ternyata kabarnya menyebar lebih cepat dari dugaan ku. Paman yang disini saja sampai tahu"

"Al, Paman tahu. Ayah mu itu memang berlebihan. Dia sangat penggila bisnis. Ah, bukan. Tak hanya ayahmu tapi juga semuanya" jedanya sebentar, lalu kembali melanjutkan, "Tapi, Paman yakin. Tak ada ayah yang tak peduli pada anaknya. Sama hal nya dengan ayah mu. Dia ingin semua yang terbaik untuk kalian berdua. Dia pasti ingin membuat hidup mu lebih baik daripada dirinya sendiri yang gagal"

"Menjodohkan ku? Paman kira itu lebih baik? Sudahlah, Paman. Aku tak ingin membahasnya"

"Percaya atau tidak. Ayah mu sebenarnya sangat mencintai ibu mu"

"Paman! Jika paman akan terus mengoceh tentang mereka. Lebih baik lupakan saja. Aku tak minat sama sekali"

Paman Hyunsoo berdecak, "Dasar anak muda. Mudah sekali tersinggung"

"Ah. Kalau begitu, biar aku tanya sesuatu", "siapa gadis itu?"

"Gadis? Apa maksud paman?"

"Gadis yang kau bawa hari ini"

"Ah, Betha. Dia temanku. Kan tadi sudah ku katakan"

"Lebih eksplisit, Al. Pacar mu? Tidak mungkin hanya sekedar teman, bukan?" Tanya nya dengan sedikit penekanan.

"Kami hanya teman. Dia tinggal di samping apartement ku. Hanya itu"

"Dia cantik. Memang kau tidak suka?" Lagi, Pamannya itu menggoda Alpha.

"Dengar ya,Paman. Kalau aku hanya menyukai seorang gadis karena wajahnya, Aku sudah memacari para idol wanita saja"

"Seperti mereka mau saja denganmu"

"Paman meragukan ku? Aku punya garis keturunan John. Tidak ada yang tidak bisa ku lakukan", "Tapi aku tak seperti itu, Paman. Hati lebih baik dari pada hanya punya wajah bagus"

"Benar,ya. Kau dan ayah mu itu sama saja dari dulu. Ingin memiliki hati yang bagus, nanti di tinggal. Hati-hati dengan ucapanmu, Al"

"Jangan sama kan aku dengan ayah ku" sewotnya menatap sang Paman.

"Terserah lah. Paman ke dalam dulu,ya" Alpha hanya terdiam. Memandang redup— Membiarkan sang paman berlalu dengan alat-alat tradisional miliknya.

Jika di lihat kembali. Dari seluruh keluarga John, hanya seorang John Hyunsoo yang tak memiliki minat pada kehidupan mewah di kota. Bahkan didetik itu pun Alpha sadar, Paman Hyunsoo jauh dari pemberitaan media. Sekalipun ia tahu, sekalipun memiliki satu perusahaan impor-ekspor yang berkembang. Tapi John Hyunsoo tak pernah ingin kembali ke kota.

Dirinya begitu cinta dengan tanah ilsan.

Pikirannya membuyar, Perlahan tangan Alpha memetik senar gitar. Memainkan satu dua kunci untuk mengecek suaranya. Masih bagus. Pikirnya.

Lalu samar-samar ia mulai memainkan sebuah lagu, mengalunkan nada indah dari suara nya diiringi gitar yang ia mainkan.

▪︎▪︎▪︎▪︎

"Maaf tak mengabari Mama sebelumnya"

Betha menjepitkan ponselnya di antara bahu dan telinganya.

Kembali mendengar suara sang Mama yang agak mengomel karena tak ada di Apartement. Tangannya dengan cekatan mengetik banyak huruf di atas buku nya. Menyusun ulang hasil interview nya hari ini agar lebih rapi.

[Lalu kau ada dimana? Bersama siapa kau pergi?]

"Mama. Jangan teriak seperti itu. Nanti mengganggu yang lainnya,tau" lirih Betha. Mendekatkan mulutnya didekat ponsel.

[Astaga. Apa ini? Kau mau jadi berandalan?]

Betha merotasikan matanya. Beralih menutup Laptop nya dan sepenuhnya menanggapi ucapan Mama, "Aku bersama Alpha. Mama tak perlu khawatir"

[Benarkah? Lalu dimana dia?] Suara mama terdengar melembut. Menjadikan Betha merasa terintimidasi karena Mama nya sendiri.

Mendengar nama Alpha saja, baru percaya.

"Dia sudah tidur" Mungkin

[Kalian satu kamar?]

Apa?

"Tentu saja,Tidak"

[Bagaimana kau tau dia sudah tidur atau belum?]

"Insting"

[Aigoo. Dasar anak ini. Lalu kau tak tidur?]

"Sebentar lagi"

[Istirahatlah. Mama juga akan tidur]

"Em, Mama istirahat lah. Jangan terlalu memaksakan diri"

Sambungan baru saja berakhir tepat ketika dia akan beranjak dari bawah tempat tidurnya. Gadis itu mengantongi ponselnya.

Betha menghela nafas dalam. Biasanya ia akan tertidur kurang dari pukul sepuluh setelah menyelesaikan tugas. Tapi kali ini tubuhnya masih belum bisa untuk di bawa tidur.

Mencoba untuk tertidur. Barangkali dirinya akan mencoba cara kuno dengan menghitung anak domba.

Berdalih masih malas untuk memejamkan mata. Betha memilih terduduk diatas kasur lipat yang kini terbentang diatas lantai kayu berwarna coklat tua. Penerangan didalam kamar cukup minim dan Betha lebih suka cahaya bulan yang merangsek masuk lewat jendela kayu, meneranginya dengan cahaya misterius.

merasakan pikirannya melayang-layang.

Memejam mata guna merilekskan seluruh kerja saraf di tubuhnya. Melupakan kekhawatiran nya yang berlari pada keadaan sang Mama.

Meski mamanya mengatakan baik-baik saja. Tapi tetap saja, saat seseorang mengatakan dirinya baik itu bukan berarti dia baik-baik saja.

Gadis itu mencoba memejam. Menenangkan diri dan berharap segera mengunjungi bunga mimpi.

Namun agaknya semua itu tak seperti perkiraan nya. Saat rungu nya mendengar sebuah alunan indah nan merdu. Suara Bariton lembut yang mengalun.

Ia lupa kapan terakhir kali mendengar nyanyian seorang pria secara live. Bahkan Jiro yang pandai bermain alat musik pun tak bisa membuatnya terbuai dengan nyanyiannya.

Betha mulai menerka, suara siapa?. Bariton yang benar-benar indah terlebih lagi ketika suara gitar mulai mengiringi nyanyiannya.

Benar-benar membuat Betha tak mampu menutup telinga bahkan untuk sebentar.

Kamar yang Betha tempati berada dekat dengan area teras rumah. Dan asal suara itu ada dibalik sekat dinding tak jauh dari kamarnya.

Lihat selengkapnya