Andai kondisi apartement tidak berantakan, mungkin Betha sudah berselonjor tenang diatas ranjang empuk nya yang wangi.
Dua hari berlalu setelah kepulangan mereka ke seoul.
Dan sialnya, hari ini ia baru saja nonton film serta bermain game dengan kedua temannya. Membuat seisi rumah begitu ramai. Belum lagi, Jihan yang mencak-mencak setelah kalah bertanding dengan Jiro.
Baru 10 menit berlalu temannya itu memutuskan untuk pulang, setelah bermain selama kurang lebih 7 jam di Apartement. Daripada bermain game Lebih terlihat seperti mengacak-acak sebenarnya.
Betha memijat pangkal hidungnya. Popcorn berceceran. Bungkus snack dimana-mana. Kulit kacang pun tersebar disana sini.
Setengah jam lamanya. Setelah dirinya mondar mandir. Berlari kesana kemari, mengambil sapu lalu kembali lagi ke belakang mengambil kain pel. Dan mengatur ini itu.
Sesekali mengumpat karena tak kunjung kelar. Setelah ini mungkin dirinya harus membuat aturan, —Dilarang buang sampah sembarangan di Apartement Betha— dengan caps lock besar.
Pada akhirnya, setelah mengumpat banyak hal dan mengutuk Pop Corn yang berceceran. Betha berhasil membersihkan ruangannya.
Menyandarkan diri diatas sofa ruang tengah dengan keringat yang membanjiri tubuh nya. Meraih remote pendingin ruangan dan menaikkan suhu udara. Ia jadi merasa sudah melakukan lari marathon hanya dengan membersihkan satu ruangan kotor diapartementnya.
Maklum saja, mau Olahraga harus nunggu niat dulu. Sedangkan niat nya datang bisa satu kali dalam dua atau tiga bulan.
Perlahan kelopak matanya mulai membuka; menatap langit-langit kamar beriring satu hingga dua kerjaan lelah. Belah bibirnya menghasilkan celah kecil. Ia sudah mengirim berkas tugas nya pada Dosen Jung kemarin.
Agak menjadi cerewet untuk memastikan tugasnya benar-benar sampai dalam laporan sang Dosen. Hingga setelah dipastikan dirinya baru merasa lega. Setidaknya sekarang satu masalah nya sudah kelar.
Betha memejam rapat, sebelum kembali membuka mata kala suara sebuah siaran berita Televisi didepannya membacakan Tittle Berita mereka.
'MODEL TERKENAL NAN CANTIK 'RACHAEL MAGNOLIA' KEMBALI KE DUNIA PERMODELAN SETELAH SEMPAT MENGHILANG—
Penyiar itu belum menyelesaikan ucapannya. Televisi sudah beralih ke layar kosong hitam gelap.
Mendengar apa yang diberitakan sudah mampu menghadirkan rasa jijik di hatinya. Beralih mengabaikan. Melupakan apa yang baru saja ia dengar.
Betha tak ingin peduli tentang apa yang akan orang itu lakukan. Sekalipun dia kembali. Dia tak boleh mengusik dirinya maupun Mama nya.
▪︎▪︎▪︎▪︎
Keesokan harinya. Saat Matahari telah menyingsing tinggi. Dimana semua aktifitas bisa dimulai kembali.
Di sebuah kantin Kampus. Dengan express di tangannya. Betha mengerjap, hanya terdiam selagi memperhatikan teman-temannya yang sedang berbincang dan bergurau.
Meski memperhatikan, Tapi sejujurnya otak Betha melayang ke lain tempat. Ia tak memproses cerita apapun yang teman-temannya katakan.
Sampai sentakan dibelakang tubuh nya. Suara yang membuatnya ingin membanting seseorang sekarang. Menyadarkan diri Betha pada kenyataan kembali seraya kedua tangan yang mulai mengepal kuat, kesal. "Seperti nya ada yang sudah mendapat posisi sebagai anak kebanggaan Dosen kembali"
Tak sampai disana, Im Lia kembali berseru tepat kearah nya, "Apa kau menyuap nya? Atau kau gunakan tubuh mu itu? Astaga. Kau menghina ku tapi ternyata kau sendiri melakukan hal seperti itu"
Betha sungguh tak tahan mendengar omong kosong nya. Hari ini ia dalam kondisi yang buruk. Berharap tak ada yang mengganggunya bahkan sampai membuat emosi nya sampai di ubun-ubun.
Tapi dengan seenaknya Im Lia datang dan bertindak bagai nenek lampir di malam hari.
"Im Lia",sesaat menghela nafas, "setelah ku lihat lagi. Harusnya kau mengasihani dirimu sendiri. Kau berusaha menjatuhkan orang lain tapi selalu gagal. Tidak kah kau terlihat menyedihkan?"
"Apa yang—" Lia hampir ingin menjambak rambutnya. Menatap emosi pada Betha yang begitu berani padanya.
Namun sebelum itu, seorang teman disamping Lia sudah menahannya. Menahan kedua tangan yang mengepal siap dilayangkan tinggi, "Jangan lakukan itu. Jika ada dosen yang melihat kita bisa di hukum" lalu menarik nya pergi. Meski begitu tatapannya tak berpaling dan masih ingin menumpahkan amarah, "Awas saja kau Lyn Betha".
"Aku sungguh tak mengerti otak nya Lia. Tak masuk akal sama sekali. Mulut dan otaknya memang butuh didikan" salah satu temannya menyeru. Memberikan senyuman guna menenangkan diri hati nya yang panas.
Betha menghela, berseru lirih, "Harusnya aku menjambak rambutnya tadi"
▪︎▪︎▪︎▪︎
Disiang hari, saat Matahari telah menyingsing tinggi diatas kepala, namun udara justru menusuk kulit jika tak memiliki pakaian tebal.
Setelah menyelesaikan satu mata kuliah nya. Betha melarikan diri ke taman kampus— sendirian.
Jihan mungkin belum selesai dengan kelasnya. Jadi memilih untuk menyendiri, dengan ponsel yang sedari tadi ia genggam begitu bimbang. Gadis itu menghela nafas beberapa kali.
Telfon sang Mama dan satu nama yang tak dikenal memenuhi kolom pemberitahuan panggilan serta pesan miliknya.
Bohong jika tak khawatir pada sang Mama. Ingin langsung menghubungi, Tapi entah bagaimana satu sisi hatinya terasa takut hanya untuk membuka pesan nya.
Merasa kan emosinya yang semakin bercampur aduk. Hatinya begitu tak tenang, dan sekarang ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tak bisa berpikir untuk selanjutnya.
Hening menyergap. Dedaunan disekitarnya bergulir terbawa angin– menerpa dirinya bagai musim gugur di awal September.
Ponselnya bergetar. Menandakan satu pesan kembali masuk dalam pemberitahuan. Tak berniat membuka atau sekedar mengecek siapa yang mengirim pesannya. Dalam angan nya ia sudah menebak siapa si pengirim tersebut.
Gadis itu melipat kedua kakinya di atas kursi taman. Menumpukan kepalanya diatas lipatan dengan helaan nafas yang begitu sesak.
Hatinya sakit. Pikirannya berat bahkan untuk sekedar berfikir sesuatu hal yang sederhana.
Lyn Betha rindu ayahnya.
Ia merindukan pria tua yang suka mengomel itu. Ia rindu masakannya yang asin. Ia rindu Tingkah konyol nya yang membuat nya sakit perut.
Dari semua masalah ini. Betha hanya ingin menemui sang ayah.
▪︎▪︎▪︎▪︎