Di koridor SMA Harapan Bangsa, seorang gadis nakal yang baju seragamnya di keluarkan sedang berjalan santai di jam pelajaran pertama. Di bahu kanannya terdapat tas yang ia sengaja gendong dengan satu lengan saja. Rambutnya yang terurai serta acak-acakan membuat penampilannya seperti anak liar yang tidak patuh pada peraturan. Matanya terlihat sinis, dan jelas ia tidak peduli terhadap guru-guru yang melihatnya dari kelas yang ia lewati.
Alra Hanifa. Ya! Gadis yang kerap dipanggil sebagai Alra ini selalu mengalami hal yang buruk di sekolahnya. Masuk BK, dipanggil guru sana-sini, tercatat sebagai murid nakal yang suka bolos, dan juga terkenal sifat brutalnya terhadap siswa lain. Dengan kejadian yang sering ia alami itu tidak membuat dirinya takut. Justru ia semakin tertantang untuk melakukan jenis kenakalan lainnya. Sebagian besar guru di sekolahnya hampir menyerah menangani Alra, karena ia siswa yang susah diatur. Namun apa boleh buat? Ia tidak pernah kapok, karena ia memiliki prinsip seperti ini, "Hidup ini ya hidup gue, ngapain lo yang ngatur?"
Ketika dia sampai di kelasnya, XII IPA-1, semua mata tertuju kepadanya termasuk mata seorang guru yang sedang mengajar disitu. Dia melihat balik satu persatu temannya dan diakhiri melihat guru yang tengah menatapnya tajam.
"Jam berapa ini?" tanya guru tersebut yang diketahui bernama Bu Emi.
"Nggak tau saya, Bu. Saya nggak bawa jam soalnya." jawab Alra santai. Guru yang mengajar Bahasa Indonesia ini semakin menatap Alra tajam. Ia sungguh geram mendapat jawaban yang terlontar dari mulut gadis nakal tersebut.
"Duduk." Suruh Bu Emi secara dingin. Ia nampaknya tidak ingin ribut di pagi hari. Alra menghampiri bangkunya yang berada di paling belakang dan meletakkan tasnya di atas meja dengan kasar.
"Psst!" Bisik seorang laki-laki yang berada samping Alra, dia Ginan. Sahabat Alra.
"Apa?"
"Lo kemana aja?"
"Gue habis kulineran pagi. Enak loh." Alra mengacungkan jempolnya sambil tersenyum pada Ginan. Respon Ginan hanya menggeleng-geleng kepala. Setelah itu ia kembali memperhatikan guru yang tengah mengajar di depan.
"Nih, catet dulu materinya. Udah gitu baru gue tambahin." Ginan menggeserkan buku catatannya pada Alra. Alra melihat buku catatan tersebut dengan malas. Ia tidak ada keinginan sama sekali untuk menyalin catatan Ginan. Jangankan itu, menyentuhnya saja sudah membuatnya muak.
"Enggak ah, males."
"Ra, catet dong!"
"Ck, gue males, Nan!"
Ginan menatap sahabatnya ini agak kesal. Ia lalu menghela nafasnya kasar dan mengambil kembali buku catatannya yang tadi ia berikan pada Alra.
"Sini buku lo, biar gue aja yang catetin." Ucapnya dengan sukarela. Seketika mata Alra langsung berbinar. Ia dengan semangat mengeluarkan buku catatan Bahasa Indonesianya dan memberikannya pada Ginan. "Makasih ya, Nan."
Ginan tersenyum pada Alra. Walaupun Alra menyebalkan, namun ia tidak pernah berniat untuk memusuhi gadis nakal ini. Dalam benaknya, ia harus selalu bersama dengan Alra.
Alra merupakan gadis yang berasal dari Semarang. Ia jauh-jauh ke Jakarta untuk merantau. Tidak, lebih tepatnya ia minggat dari rumahnya karena masalah keluarga. Ia tidak tahan atas perlakuan yang ia dapat dari keluarganya, maka dari itu ia memutuskan untuk ke Jakarta dan tinggal sendiri. Untuk pekerjaan, ia sendiri bekerja di sebuah toko yang menjual jilbab dan gamis. Untungnya sang pemilik sangat baik kepadanya. Bisa dibilang, beliau tidak pernah marah kepada Alra, sekalipun ia bekerja dengan lalai.
Hampir semua siswa di SMA Harapan Bangsa membenci Alra. Bagaimana tidak? Alra memang terkenal akan sifat jeleknya. Tukang bolos, memalak uang saku siswa lain, melawan guru, melanggar peraturan, dan berpenampilan tidak rapi sudah menjadi bagian dari jiwanya. Ia juga tidak segan-segan melabrak seorang siswa yang berani menghinanya. Tiada hari tanpa digosipkan, sudah biasa bagi Alra. Namun ya namanya juga seorang Alra, jika ia mendengar gosip tentang dirinya, ia langsung berhadapan dengan orang itu dan bisa saja membalasnya dengan menggunakan fisik.
Lain lagi dengan Ginan. Lelaki yang merupakan sahabat Alra ini adalah siswa yang baik, patuh terhadap peraturan, tampan, dan cerdas. Ia memiliki tahi lalat di samping bawah mata kanannya. Di sekolah, ia terkenal akan kepandaiannya dalam berbagai pelajaran. Ia juga menjabat sebagai ketua kelas. Guru-guru di sekolah sangat mengandalkan Ginan dalam hal kedisiplinan maupun prestasi. Meskipun ia memiliki sahabat yang notabenenya termasuk anak langganan BK, tidak pernah sekalipun Ginan melakukan pelanggaran. Jika ia melakukan pelanggaran sekali saja, hatinya merasa tidak tenang dan was-was.
"Nan, ini lagi belajar materi apa sih?" tanya Alra sambil memicingkan matanya pada papan tulis.
"Oh, iniㅡ" belum selesai menjawab, Alra sudah memotong duluan. "Stop-stop! Gue nggak perlu tau."
Ginan bingung tentunya. Baru saja ia ditanya Alra dan hendak menjawabnya, gadis tersebut malah memotong perkataanya dan tidak ingin tahu.
"Ngapain nanya kalo gitu?" Ginan jadi kesal.
Alra hanya menatap sahabatnya ini dengan tatapan sendu. "Lo tau sendiri 'kan gue kayak gimana."
"Terserah, ah."
"Yah, si Ginan ngambek."
"Apaan sih."
"Kayak cewek aja deh lo."
"Yang di belakang kalo ngomong terus, Ibu keluarkan!" Tegas Bu Emi sambil menatap Alra dan Ginan dengan tajam. Ginan segera menunduk sedangkan Alra santai saja seakan tidak ada rasa bersalah. Keduanya terdiam dan membuat suasana kelas menjadi sunyi hingga suara ranting pohon di luar jendela saja yang terdengar.
Bu Emi melanjutkan kegiatannya menulis materi di papan tulis. Suasana di kelas sudah agak tenang. Alra dan Ginan saling bertatapan hingga akhirnya mereka berdua tertawa bersama secara pelan mengingat tadi mereka berdua dimarahi.
"Ra, sebagai hukuman lo udah bikin gue kena marah, lo harus traktir gue hari ini." Bisik Ginan yang pura-pura marah pada Alra.
"Lah, gue 'kan juga dimarahin tadi." Balas Alra yang sama berbisik.
"Tapi lo bikin gue terlibat juga," Tukas Ginan sesekali melirik Bu Emi untuk melihat kondisi sekarang. "Pokoknya nggak mau tau, lo harus traktir gue." Tambahnya.
"Oke, gue setuju. Kebetulan gue baru aja gajian, jadi nggak ada salahnya gue kasih asupan ke temen gue yang satu ini." Ucap Alra sedikit mengejek.
"Oke, kalo gitu gue tunggu jam istirahat nanti," Nada bicara Ginan terdengar seperti paksaan. "Nggak boleh sampe kabur, bolos apalagi."