Setelah menempuh perjuangan yang panjang dari menunggu bus Transjakarta hingga perjalanannya yang macet, akhirnya mereka berdua sampai juga di rumah Arga, tempat tujuan dimana mereka berdua akan mengerjakan tugas hukumannya bersama. Rumah Arga tidak terlalu besar, namun cukup membuat Alra menganga karena ia sendiri tinggal di kosan yang ukurannya tidak sebanding dengan rumah lelaki itu.
"Nih, lo ganti baju seragam dulu."
Sebelum mereka berdua masuk ke dalam, Arga menyerahkan seragam sekolah milik Alra. Alra terkejut melihat baju seragam sekolahnya ada di tangan Arga.
"Kok seragam gue ada di lo? Gue 'kan udah buang kemarin."
Karena satu sekolah tahu bahwa Alra seorang pencopet, jadi Alra tidak tahan lagi dan membuang seragamnya di tempat sampah. Ia juga sudah menyerah untuk bersekolah, jadi untuk apa mempertahankan eksistensinya di sekolah jika ia selalu dipandang buruk? Dan lagi, ia bingung mengapa seragamnya tiba-tiba ada di tangan Arga. Ia mengira bahwa seragamnya itu sudah menjadi tumpukan sampah dan tidak dapat dikenakan kembali.
"Biar papa gue ngiranya lo nggak bolos juga." jawab Arga. Alra merasa bingung dan ia sama sekali tidak mengerti maksud Arga.
"Maksud lo?"
"Biar dikira lo itu sekolah. Biar gue aja yang dianggep bolos sama papa gue, lo jangan."
Alra tertegun mendengarnya. Ia merasa bahwa Arga sedang melindungi sekarang. Ia juga merasa bahwa Arga tidak ingin papanya mengetahui identitas Alra sebenarnya yang seorang berandal sekolah dan gadis nakal yang anti terhadap peraturan.
Tidak! Itu mungkin hanya akal-akalan Arga saja. Mana mungkin Arga peduli terhadapnya? Bahkan laki-laki tersebut tiada hari tanpa mencari gara-gara kepadanya, jadi untuk apa Arga melindungi dirinya? Tidak ada gunanya sama sekali.
"Cepet!" Desak Arga yang terlihat lelah memegang seragam Alra. Dengan kasar, Alra mengambil seragamnya yang kemarin ia buang dari tangan Arga. Ia menghela nafas kasar di depan seragamnya itu. Memegangnya saja sudah membuatnya mengingat kejadian dimana ia dipermalukan di sekolah.
"Bentar deh," Alra tiba-tiba kepikiran sesuatu. "Kalo gitu ngapain gue mau ngerjain tugas kalo gue sendiri ada niatan buat berhenti sekolah?"
"Oh, jadi lo ada niatan buat berhenti sekolah?" tanya Arga sedikit terkejut. "Jadi lo buang seragam karena lo mau berhenti, gitu? Pinter. Nanti yang ada tugas hukumannya dilimpahin ke gue semua." Sindir lelaki itu di akhir kalimatnya.
Alra yang mendengar itu jadi menatap Arga dengan penuh kekesalan. "Lo pikir gunanya gue bertahan di sekolah itu untuk apa? Biar semakin dipermaluin gitu ya? Ah, gue jadi nyesel kesini. Ngapain juga gue mau nerusin tugas hukuman kalo gue sendiri mau memberhentikan diri dari sekolah?"
Alra lantas hendak pergi. Baru saja ia mengambil beberapa langkah, tiba-tiba Arga menghadangnya tepat di depan gadis itu berdiri. "Jangan gitu dong. Oke kalo lo mau berhenti sekolah, tapi yakali lo tega biarin gue ngerjain semua hukuman ini sendiri? Di pending dulu bisa, 'kan?"
"Apanya yang di pending?" tanya Alra sambil melipat kedua tangannya.
"Tadi lo bilang mau berhenti sekolah, 'kan? Jadi ya itu, di pending dulu biar lo bisa ngerjain tugas hukuman ini bareng gue."
"Ih, apa pedulinya gue? Kan lo yang mulai nyari masalah sama gue di hari itu, jadi lo yang harus tanggung jawab semua lah."
"Tolong lah, Ra. Untuk kali ini aja, lo jangan asal berhenti sekolah. Gue mau ini tugas cepet kelar, makanya gue minta sama lo buat bertahan sebentar aja. Begitu tugas hukumannya selesai, lo boleh berhenti sesuka lo, bahkan ngebuang seragam lo juga. Tapi untuk kali ini, please ya?"
Arga nampak memohon pada Alra. Belum pernah Alra melihat wajah Arga semelas ini. Pikirnya, sejak kapan Arga jadi peduli dengan tugas? Bahkan lelaki itu saja tukang bolos sepertinya dan selalu mendapat nilai rendah.
"Dengan satu syarat ya," Alra mengangkat jari telunjuknya. "Kasih gue bayaran."
Arga membulatkan matanya pertanda tak percaya. "Bayaran? Cuma gara-gara tugas hukuman ini doang? Duit copetan lo kemarin emang nggak cukup ya?"
Begitu mendengar perkataan Arga, Alra seketika terkejut dan marah sampai-sampai memukul bahu Arga dengan seragam sekolah yang ia pegang. "Lo berani ya bilang kayak gitu?"
"Ck, gitu doang marah." Arga menatap sinis Alra dan dibalas oleh pukulan keras yang berasal dari kepalan tangan Alra. Arga yang dipukul bagian perutnya pun meringis kesakitan.
"Eh, sakit, Ra!" Ucap Arga dengan lantang. "Iya-iya nanti gue bayar. Mata duitan banget sih lo!"
Alra tidak menjawab apapun. Sebenarnya ia merasa sakit hati begitu mendapat pertanyaan yang menyinggung perasaannya tadi, namun apa yang bisa ia harapkan? Bagaimanapun juga, itulah Arga. Arga sama dengan dirinya. Sama-sama seorang berandal yang tidak bisa menyaring perkataan dengan baik.
"Gue ganti baju dimana?" tanya Alra to the point sambil memasang wajah cuek. Arga lalu mengarahkan dagunya ke pohon-pohon belakang rumahnya untuk menjawab pertanyaan Alra.
"Yang bener aja lo!" Alra kembali memukul Arga dengan seragam yang ia pegang.
"Nggak usah dipukul lagi dong!"
"Yakali gue ganti baju disitu!"
"Terus mau dimana?"
Alra bingung. Ia begitu kesal karena Arga menyuruhnya untuk mengganti baju di belakang pohon-pohon. Jika ada orang yang melihat bagaimana? Itu akan menjadi masalah yang besar bagi Alra, terlebih ia sendiri seorang perempuan.
"Gue nggak bakal ngintip kok, janji." Arga menunjuk jarinya berbentuk V, itu artinya ia bersungguh-sungguh. Namun, tetap saja ucapan Arga ini membuat Alra tidak percaya.
"Ya nggak usah dibuka semua, maksud gue... ahh!" Arga mengacak-acak rambutnya yang tebal itu. Ia jadi bingung sendiri harus berkata apa.
"Maksud lo pake baju double gitu?" tanya Alra ketus sambil melipat kedua tangannya. "Nggak enak dong."
Arga tidak membalas apa-apa. Ia diam seribu bahasa karena ia sendiri tidak tahu solusinya bagaimana.
"Yaudah gue pake double aja. Nggak ada orang sama sekali, 'kan?" tanya Alra.
"Enggak." Arga menjawabnya dengan singkat.
"Beneran lo?"
"Iya elah! Beneran..."
"Awas lo ya!" Alra memperingatkan sambil mengangkat telunjuknya. Dengan terpaksa, Alra harus mengganti baju di tempat yang disuruh Arga tadi, yaitu di belakang pohon-pohon rumahnya.
"Kalo lo mau pake baju double, kalo gitu ngapain harus di belakang pohon?" tanya Arga penasaran. Karena baginya aneh jika mau pakai baju secara double namun memutuskan untuk memakainya secara tersembunyi.
"Ya males aja kalo gue mau pake baju tapi ada lo nya." Jawab Alra seadanya. Jawaban yang Alra lontarkan barusan justru membuat Arga berpikir keras dan merasa agak janggal.
"Dasar cewek. Pada dasarnya emang suka ribet." Cerca Arga.
"Lo tuh ya julid banget jadi orang!" Alra jadi kesal menghadapi Arga. "Sekitar rumah lo sepi, 'kan?" tanyanya kemudian.