"Maaf Bu, Pak. Saya terpaksa ngelakuin ini."
Sesampai di kosannya, Alra membungkus barang-barang milik guru-gurunya. Iya, gadis nakal itu terpaksa mengambil barang mereka karena perlakuan tidak adil yang telah menimpanya. Sambil menahan air matanya, ia meletakkan barang curiannya dengan sangat tersembunyi agar tidak terlihat jelas. Barang-barang yang ia curi antara lain laptop, flashdisk, tas yang berisi dokumen penting, dan berkas-berkas nilai siswa SMA Harapan Bangsa. Ia tidak berniat untuk menggunakan itu semua. Ia hanya ingin membuat guru-gurunya jera dengan mengambil secara diam-diam barang milik mereka.
Ting!
Ting!
Ting!
Ting!
Suara pesan notifikasi WhatsApp terdengar berkali-kali dari ponsel Alra. Ia menatap ponsel miliknya yang tergeletak di atas kasurnya. Ia lalu mengambil ponsel tersebut dengan malas dan mulai mengusap lockscreen yang tertera. Tak lama kemudian, ia melihat isi pesan yang baru ia terima. Ia membacanya dan banyak pesan yang berisikan tentang kebencian dari para siswa SMA Harapan Bangsa yang tidak ia masukkan ke dalam daftar kontaknya.
"Cewek nggak punya apa-apa dan nggak tau malu!"
"Pencopet lo!"
"Dasar kriminal. Kenapa coba sekolah kasih kesempatan buat lo? Nggak ada gunanya tau!"
"Nakal, berandal, nggak punya pikiran. Definisi dari seorang Alra, hm."
"Mending lo nggak usah hadir di kehidupan ini. Sana pergi jauh-jauh!"
Alra ingin menangis membaca pesan-pesan tersebut. Sebegitu bencikah orang-orang hingga mengiriminya pesan kebencian seperti itu? Ingin sekali Alra mengakhiri hidupnya. Ia sebal jika lama-lama harus menghadapi semua ini tanpa ada ketenangan sama sekali. Selalu saja hal-hal yang ia hadapi adalah situasi yang menegangkan.
Alra membuang ponselnya dengan kasar. Ia menghembuskan nafas berat dan dadanya terasa sangat sakit. Tidak pernah ia merasa sesakit ini. Ia kesulitan bernafas secara tiba-tiba. Air mata yang harusnya ia keluarkan malah ditahan olehnya. Ia tidak ingin menangis. Ia tidak ingin menjadi seorang yang lemah hanya karena menangis.
"Gue benci sama hidup ini! Gue mau mati aja!" Hati Alra meronta-ronta. Ia mengacak-acak rambutnya hingga berantakan dan teriak dalam diam. Langkahnya kemudian menuju tempat piring-piring, hingga tangannya meraih sebuah pisau yang berada disitu. Perlahan, Alra mengambil pisau tersebut dan menatapnya secara lekat. Ia lalu menunjukkan senyuman yang terkesan menakutkan. "Keren kali ya kalo gue mati sekarang."
TOK TOK TOK~
Sebuah suara ketukan pintu sukses membuat Alra membuyarkan dirinya akan pikiran tentang bunuh diri. Cepat-cepat ia meletakkan pisau yang tadi ia pegang dan mulai merapikan rambutnya yang berantakan.
"Sebentar."
Alra membuka pintunya. Ternyata ia kedatangan dua orang sahabatnya, Ginan dan Daina. Alra mengembangkan senyumannya kepada mereka berdua.
"Tumben ke sini." Ucap Alra yang masih tersenyum.
"Iya. Gue yakin lo pasti lagi ngalamin masa-masa sulit, jadi ya gue sama Ginan mutusin buat ngajakin lo jalan-jalan." kata Daina antusias dan mendapat anggukan setuju dari Ginan.
"Ah, lo mah ngerti aja." Alra mendorong pelan bahu Daina.
"Iyalah ngerti. Gue mana tega ngebiarin lo terhanyut masalah sendirian. Yang ada gue kasian sama lo."
Alra hanya bisa tertawa kecil mendengarnya. Sepertinya ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri hari ini. Tidak tahu hari selanjutnya.
"Kita nggak diajak masuk nih?" tanya Ginan iseng secara tiba-tiba. Alra yang tersadar langsung melebarkan pintunya dan menyingkirkan jaraknya sedikit. "Oh iya lupa, hehe. Masuk gih."
Ginan dan Daina masuk ke dalam kosan Alra yang ukurannya terbilang sempit. Namun, tidaklah jadi masalah bagi kedua sahabat ini.
"Mau minum apa nih?" tanya Alra yang sudah membuka kulkasnya.
"Nggak usah. Kita 'kan langsung pergi." Ujar Ginan menolak.
"Nggak mau minum dulu?"
"Enggak usah, Ra."
Alra menutup kulkasnya. Ia kemudian duduk di depan Ginan dan Daina yang kebetulan mereka sudah duduk duluan. Kemudian, tatapan Alra menjadi kosong. Ia kembali mengingat kejadian dimana ia dimaki oleh siswa-siswa SMA Harapan Bangsa terutama lewat WhatsApp.
"Udah, jangan dipikirin terus. Gue tau lo tertekan tapi 'kan ada kita disini." Ucap Daina yang mengerti betul ekspresi Alra sekarang. Ia lalu memegang tangan Alra yang terasa dingin itu.
"Iya. Kita disini mau ajak lo keluar biar fresh. Kasian lo stres terus." Tambah Ginan yang kini menatap Alra kasihan.
"Kalian masih ada buat gue, 'kan?" Alra hanya ingin memastikan. Ia tidak ingin kedua sahabatnya ini berujung pengkhianatan karena perbuatan buruk yang dimilikinya. Ah, lagi-lagi ia teringat perkataan Arga soal sahabat sendiri yang bisa lebih nusuk daripada musuh sendiri.
Ginan dan Daina menggangguk secara bersamaan. Mereka akan selalu ada buat Alra, bagaimanapun keadaannya. Yang jelas, keberadaan Ginan dan Daina harus selalu bisa menjadi pelindung bagi gadis itu.
"Makasih, ya."
"Iya. Santai aja kali, Ra."
"Yaudah yuk, kita langsung pergi aja." Ajak Ginan yang kemudian berdiri dari duduknya dan diikuti oleh Daina dan Alra.
"Yuk." Jawab Daina dan Alra secara kompak. Kini, mereka bertiga pergi keluar bersama untuk refreshing dan hendak melepas penat mereka.
***
Ginan dan Daina rupanya membawa Alra ke festival susu. Selama perjalanan, mereka berdua sengaja tidak memberitahu Alra kemana tujuan mereka jalan-jalan hari ini. Niatnya untuk kejutan sedikit, dan Alra kebetulan baru tahu ada yang namanya festival susu yakni festival dimana para penjualnya menjual jenis-jenis susu yang berbeda dan memiliki rasa yang berbeda pula.
"Mau beli yang mana, Ra?" tanya Daina kepada Alra yang matanya menangkap semua jenis susu disitu.
"Hmm, nggak tau deh," Alra tampak sedang berpikir-pikir. "Yang rasa pisang ini enak kayaknya." Sambungnya. Daina lalu mengambil susu pisang berkemasan kotak yang ada di depannya. "Yang ini?"
Alra mengangguk sebagai jawaban. Daina lalu mengeluarkan uangnya dan mulai membayarnya. Sona terbelalak, ia kemudian menghentikan kegiatan transaksi Daina. "Na, ngapain jadinya lo yang bayarin?"
"Ihh, nggak apa-apa, kali," Daina menepis pelan tangan Alra. "Biarin deh kali ini gue yang bayarin."