Sekarang, waktu sedang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hari ini merupakan hari pertama Alra menjadi murid kelas XII IPA-2 dan bisa dibilang ia sudah resmi menjadi teman satu kelas Arga beserta gengnya yang setia. Ia sengaja datang ke sekolah pukul sepuluh karena ia malas jika harus datang di awal waktu dan menjadi bahan gosipan hangat di pagi hari.
Alra duduk di bangku paling belakang, tentu saja. Tempat bangku yang paling ia sukai dari dulu dan tidak akan pernah berubah. Di kelas barunya, ia duduk sendiri. Tidak ada seorang pun yang mau duduk di sebelahnya.
Pelajaran kali ini adalah matematika, dan Pak Joni sedang mengajar di depan. Semua tatapan tertuju pada papan tulis kecuali Alra. Ia membuang mukanya ke arah jendela sambil melamun.
"Anak-anak, saya kehilangan laptop dan beberapa berkas nilai. Jadi, bagi saya susah untuk mengajar, terlebih lagi nilai-nilai kalian harus segera diserahkan." kata Pak Joni sambil menekan meja yang ada di depannya. Bobi yang kebetulan duduk bersebelahan dengan Deka langsung membisikinya. "Si Bapak malah curhat."
Bisikan tersebut dapat Alra dengar secara jelas namun ia tidak mempedulikannya. Tatapannya kosong dan ia masih melamun menghadap ke jendela.
"Emang enak laptopnya hilang? Rasain!" Ucap Alra dalam hati. Dirinya merasa puas sudah memberi ganjaran yang sama terhadap gurunya. Ya, walaupun perbuatan tersebut sangatlah buruk dan sudah mencerminkan perilaku yang membuat gurunya rugi, tetap saja Alra tidak merasa bersalah sama sekali. Ia menderita, maka gurunya yang telah membuatnya menderita juga harus ikut menderita.
"Kok bisa hilang sih, Pak?" tanya salah satu murid disitu.
"Nggak tau. Perasaan saya udah simpen baik-baik. Tau-tau kok bisa hilang."
Sekali lagi Alra merasa puas. Namun kali ini, terdapat seringai kecil yang menghiasi wajahnya. "Mampus."
"Yaudah, karena saya tidak mau memperpanjang lagi, saya akan memberikan kalian tugas," Ucap Pak Joni sambil membuka buku paket. "Kerjakan halaman delapan puluh dua. Saya akan pergi dulu dan tolong kerjakan dengan tenang."
Pak Joni pun melangkahkan kakinya dan keluar kelas. Setelah Pak Joni pergi, satu kelas bersorak dengan kompaknya seperti free class dadakan.
Alra hanya memutar bola matanya malas setelah mendengar sorakan tersebut. Ia lalu menidurkan kepalanya di atas meja dengan kedua tangannya sebagai tumpuan dan mulai memejamkan matanya. Belum sampai beberapa detik, ia merasa pipinya ditusuk oleh sesuatu yang mirip seperti pulpen. Alra menolehkan kepalanya dengan cepat dan ekspresinya berubah menjadi kesal. Ia melihat siapa pelaku yang tengah mengganggunya ini, dan orang itu ternyata Arga.
"Arga!" Teriak Alra sambil mengepalkan kedua tangannya di atas pahanya. Arga yang diteriaki barusan langsung tertawa begitu saja.
"Hahaha! Lucu juga ya lo kalo marah." Ucap Arga yang menunjuk wajah Alra.
"Ganggu banget lo!" Pekik Alra yang masih kesal dan menidurkan kembali kepalanya.
"Jangan marah-marah gitu dong." Kata Arga tanpa merasa bersalah. Spontan saja Alra mendorong Arga. "Pergi nggak lo!"
"Sendirian aja 'kan lo? Nggak mau gue temenin?" tawar Arga yang entah mengapa dia jadi suka iseng terhadap Alra. Alra kemudian menunjukkan ekspresinya yang mau muntah setelah mendengar perkataan yang keluar dari mulut Arga tadi.
"Kayak lo temen gue aja."
"Emangnya selama ini bukan?"
"Sejak kapan gue anggep lo temen?" Sarkas Alra yang kemudian mengikat rambutnya.
"Ga, ini korban cewek lo yang ke berapa?" Sindir Juned secara tiba-tiba yang kebetulan duduk di seberang bangku Alra.
"Yang ke berapa ya?" Arga seolah berpikir keras. Karena Alra jengkel, ia bangkit dari duduknya dan berniat untuk pergi ke luar kelas. Arga yang tahu Alra berniat keluar kelas langsung meneriakinya. "Nggak usah dianggap serius. Gue bercanda!"
Alra mendengar itu namun ia berusaha untuk mengabaikannya. Ia sadar bahwa ia tidak boleh jatuh dalam perangkap Arga, apapun itu. Kedekatannya dengan Arga hanya untuk mengerjakan tugas hukuman, selebihnya jangan sampai. Ia juga tidak boleh membawa perasaan atau sampai jatuh cinta pada lelaki playboy yang dengan mudah tersenyum nakal kepadanya.
Dan ya, baru saja Alra keluar kelas, bel istirahat pun berbunyi.
***
Juned, Bobi, dan Deka menghabiskan waktu istirahat mereka di warung depan sekolah yang sering digandrungi para siswa. Di warung itu juga biasa dijadikan tempat kabur bagi mereka yang malas mengikuti pembelajaran. Setelahnya, mereka akan merokok bebas, bermain game di ponsel, ataupun bercengkrama dengan topik yang menarik bagi mereka.
Juned, dengan kaki yang ia angkat di atas kursi memulai pembicaraan duluan. "Cuy, lo semua bosen nggak sih kalo guru-guru selalu nanyain masa depan lo jadi apa?"
"Masa depan gue? Gue mah percaya-percaya aja, soalnya di masa depan gue bakalan jadi Ustadz, hahaha!" Jawab Bobi ngawur yang di akhir kalimatnya tertawa. Deka langsung menatap Bobi tidak percaya, namun tak berlangsung lama ia bersikap biasa saja karena ia tahu Bobi suka sekali berbicara iseng.
"Halah, ngaji aja lo nggak becus. Mana bisa jadi Ustadz?" Ejek Deka yang kemudian menyedot es jeruknya.
"Gue nggak mau diajarin kalo si Bobi jadi gurunya." Ujar Juned. Kemudian, Bobi pun membalas, "Woy, Junedi! Siapa juga yang mau punya murid kayak lo?"
"Ckckck, kalian berdua nggak sadar apa gimana sih? Pelajaran aja masih suka bolos, eh malah bahas yang kayak begituan. Sama aja nggak mempan kali." Respon Deka. Lima detik kemudian, ia mulai mengangkat kakinya dan menyedot es jeruknya yang sisa seperempat. "Eh, kalian sadar nggak sih?"
"Apaan?" tanya Bobi penasaran.
"Kalian sadar nggak kalo Arga sama Alra jadi lebih deket sekarang? Nggak kayak dulu." Ujar Deka yang merasa keheranan.
"Iya, bener tuh," Juned setuju atas perkataan Deka. "Kayak tadi, si Arga yang nyamperin Alra duluan. Udah gitu, dia mulai isengin si Alra." Tambahnya.