ALTAMIS : REVIVAL

Disha Kei
Chapter #1

PROLOG

Cahaya matahari menembus langit dari ufuk timur, menyinari rumah-rumah yang berderet rapi di dataran luas. Sinar yang masuk melewati jendela setiap rumah menyambut orang-orang yang baru bangun dari tidurnya. Di sekeliling deretan rumah itu, sekumpulan pohon berdaun lebat berdiri tegak melindunginya dari daerah luar. Hutan rimbun itulah yang menjadi penyokong hidup masyarakat di sana dan menjadi komoditas utama kerajaan.

Di antara rumah-rumah kayu yang jumlahnya tak terlalu banyak, terdapat sebuah bangunan megah dengan pagar kristal yang mengelilinginya. Istana kerajaan yang merupakan pusat dari semua aktivitas masyarakat itu mencakup sepertiga dari luas wilayah di sana.

Kerajaan yang makmur dan tenteram, masyarakat hidup dengan tenang tanpa khawatir soal apa pun. Selain karena kepemimpinan sang raja yang mumpuni, kehadiran para pengguna kekuatan sebagai menteri dan jajarannya pun menambah rasa aman di hati para rakyat.

Inilah Negeri Utara, di mana seluruh warga percaya bahwa tanah mereka selalu aman dan damai, tak bisa diusik oleh siapa pun, sampai kapan pun.

---

“Hah… hah… tolong...”

Seorang pria paruh baya terengah-engah, berlari tidak karuan sepanjang jalan sempit yang dia lewati. Wajahnya terlihat ketakutan, tampak dikejar sesuatu. Beberapa kali dia tersandung kakinya sendiri lantaran panik dan meminta tolong.

“Hei, siapa pun yang disana!” teriak lelaki itu saat mendekati mulut jalan, “tolong! Ada peram—”

“Percuma saja minta bantuan.”

Deretan genteng di atap rumah-rumah berbunyi karena seseorang melangkahkan kakinya di sana. Seorang lelaki remaja yang umurnya jauh lebih muda dari si pria terlihat sedang mengejar dari belakang.

Pria itu tambah panik saat menyadari pengejarnya makin dekat, “Hei! Semuanya! Dengarkan aku!”

“Selesai sudah, Pak Tua.”

Pedang pendek berukuran tiga perempat pedang biasa terangkat tepat di sebelah leher si pria. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhnya, merasakan dinginnya permukaan pisau yang mulai menempel di lehernya. Sekali dia berontak, kepalanya akan terpotong.

“Diam atau kau akan kehilangan nyawa,” desis si remaja tepat di belakangnya, “mari lihat… dimana kau sembunyikan dompetmu.”

Lelaki berambut hitam lebat itu tersenyum sinis dan mulai merogoh saku belakang celana korbannya. Tangannya mengangkap sebuah benda panjang berbahan kulit. Matanya berbinar melihat apa yang didapatnya. Sebuah dompet yang terlihat tebal.

“Aku beruntung hari ini. Tak sia-sia aku berlari di atap yang licin. Aku pinjam ya, Pak Tua,” ujarnya yang mulai membuka-buka dompet milik pria tersebut.

Baru saja mengintip isinya sebentar, secercah cahaya melesat di depan matanya. Dia menghentikan aktivitasnya dan menengok ke atas, melihat pria di hadapannya telah mengangkat sebuah kembang api dengan kerlip biru.

“Kau mau melawanku dengan itu?” Remaja itu tertawa meremehkan. “Lucu sekali.”

“Ini bukan untuk melawanmu. Tapi untuk memanggil orang yang akan melawanmu,” tukas pria itu, “menyerahlah atau kupanggil petugas kerajaan.”

Tampang si remaja langsung berubah ketakutan. Dompet korbannya terlepas dari genggamannya, lantas bersujud di depan pria itu. Tangannya gemetar memohon-mohon ampun.

“Maaf! Maaf! Ampuni aku! Tolong, jangan panggil petugas kerajaan!”

Lihat selengkapnya