“Tuan Sorie….” Terdengar suara berat seseorang disertai ketukan pintu di depan sebuah kamar.
Keadaan istana pagi ini masih sepi. Orang-orang yang bekerja di istana mengerjakan tugasnya dengan tenang sehingga tidak terdengar suara apa pun.
“Tuan Sorie.” Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih keras dan tegas.
“Tuan Sorie!” Satu menit setelahnya, suara itu sudah berubah menjadi bentakan kecil. “Maaf atas kelancangan saya, tapi sesuai yang telah disepakati, jika Anda tidak merespon setelah tiga kali—”
“Ya, ya.”
Suara khas anak kecil muncul memotong perkataan seseorang yang mengetuk pintu tadi. Mendengar itu, pelayan istana tersebut langsung mengatakan “permisi” dan melenggang pergi dari depan kamar, kembali mengurus hal lain.
Seseorang yang berada di dalam kamar, yang tak lain adalah raja negeri ini, Sorie, menggeliat di kasurnya dan bangkit dari tidurnya. Rambut pirangnya berantakan, persis seperti anak kecil yang baru bangun tidur. Setelah mengumpulkan nyawanya yang sebagian masih di alam mimpi, dia turun dari ranjangnya dan berjalan pelan menuju cermin besar yang terpampang di lemari bajunya.
Sorie berdiri di depan cermin, menatap dirinya yang tidak berbeda dari beberapa tahun yang lalu. Sadar akan tinggi badannya yang tidak kunjung bertambah, juga wajahnya yang tidak berubah dari wajah bocahnya walaupun sudah berumur 19 tahun. Raja yang baru berkuasa selama empat tahun ini memiliki wajah manis seperti anak kecil, dengan mata biru laut yang lebar.
Entah karena pertumbuhannya yang memang berhenti lebih awal atau apa, dia sendiri tak pernah memeriksanya pada perawat kerajaan. Selama hal ini tidak menghambat aktivitasnya, dia tak terlalu mempermasalahkannya.
Namun, di balik sosoknya seperti itu, sikap dan perilakunya sudah sesuai dengan umurnya. Sifatnya sudah dewasa.
Setelah berdiam diri lama di depan cermin, Sorie beranjak mandi, bersiap untuk menghadapi urusan kerajaan hari ini. Sebelum keluar dari kamar, dia kembali menatap dirinya lewat cermin.
Rambut pirang pendeknya yang tadi acak-acakan, sekarang sudah rapi. Dirinya kini dibalut jubah raja berwarna merah dengan bulu halus di pinggirnya, menutupi sebagian tubuhnya yang berseragam biru tua. Tak lupa mahkota berhias kristal terpasang di kepalanya. Penampilannya sudah seperti raja, tapi ada sesuatu yang hampir dilupakan olehnya.
Sorie menuju meja di samping ranjang, membuka kotak berhias permata yang ada di atasnya. Dia mengambil sebuah kalung yang menawan, bandulnya berbentuk lingkaran dan ada bentuk tiga kelopak bunga di tengahnya. Kalung yang sangat penting bagi Sorie, selalu dibawa kemana-mana olehnya. Mata Sorie menatap deretan rumah rakyat yang terlihat dari jendelanya sembari dia memakai kalungnya. Rumah-rumah rakyatnya, anggota kerajaan yang harus dia lindungi dengan baik.
“Semoga hari ini pun menjadi hari yang tenang dan tenteram.”
Dengan segera, Sorie keluar dari kamarnya, kemudian berjalan menuju tangga yang akan membawanya turun ke ruangan utama istana. Tempat di mana singgasananya berada. Baru saja dia mau menapakkan kaki di anak tangga pertama dari atas, suara pelayan kerajaan menganggu telinganya.
“Putri Laura! Tidak baik berlarian di koridor seperti itu!”
Suara tawa seorang gadis membalas seruan pelayan itu. Sorie menatap ke sumber suara, tepat ketika gadis yang sangat dikenalnya melesat melewatinya. Dengan membawa tombak perak di genggamannya, gadis itu turun dengan meluncur melalui pegangan tangga. Dalam sekejap, dia sampai di bawah lebih dulu dibanding Sorie—yang masih terdiam dengan aksi gadis tersebut.
“Aku duluan, Sorie!” serunya dengan senyuman licik di wajahnya.
Sorie hanya terdiam, perlahan menuruni tangga. Lelaki itu menghela napas panjang, meratapi perbuatan kekanakan Laura, sang putri kerajaan.
Tidak cukup sampai di sana. Setelah meluncur lewat pegangan tangga—sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang putri—dia membidik tombaknya ke arah lampu hias di atas ruangan tersebut. Niatnya bukan untuk menghancurkan lampu itu. Hanya untuk menguji seberapa besar kemampuannya.
Tombaknya melesat tepat ke arah lampu. Ketika jaraknya sudah dekat, benda tajam itu meledak, mengeluarkan percikan api, dan berubah menjadi burung gagak yang terbang hinggap di lampu hias yang diincar Laura.
“Heh, masih burung gagak? Aku berharap sudah berubah menjadi elang,” keluh Laura.
“Kemampuanmu masih kurang untuk mengubahnya menjadi elang, Putri Laura,” sebuah suara lain menanggapi keluhan Laura.
Laura menengok melihat siapa orangnya. Tanpa disadari api melesat dari arah pandang Laura. Api itu mengenai burung gagak Laura yang kemudian terbakar dan langsung berubah menjadi wujud aslinya. Tombak Laura terjatuh ke lantai, menciptakan bunyi denting yang cukup nyaring.
Saking cepatnya semua itu terjadi, gadis berambut pirang dikepang atas tersebut tak sempat berteriak. Matanya kosong menatap tombaknya yang ujungnya menghitam.
“Kenapa kau membakarnya?!” tanya Laura setengah berteriak, “tombakku jadi gosong, tahu! Apa kau tak sadar kalau itu bukan tombak biasa?!”
Seorang lelaki berambut hitam kebiruan yang tersisir rapi menampakkan diri dari balik pintu ruangan. Dengan api yang masih berkobar di tangan kirinya.
“Sebagai penasihat kerajaan, sudah sepantasnya aku memperbaiki sesuatu yang tidak lazim terjadi disini,” ujarnya.
“Tidak lazim, katamu?!” bentak Laura, “itu cuma burung gagak, Raven!”
Raven menghela napas, “Raja Sorie sudah mengatakan sebelumnya, tidak boleh ada kekuatan kerajaan di ruangan ini. Jika kau mau menguji kemampuanmu, lakukan saja di halaman belakang.”
“Di halaman belakang tidak ada siapa-siapa, tahu!” tukas Laura, “selain itu, kau juga menggunakan kekuatanmu kan, tadi?”
"Aku menggunakannya untuk menghentikanmu. Sesuai peraturan,” balas Raven yang mengatupkan tangan kirinya untuk menghilangkan apinya.
Laura mendengus kesal melihat tingkah laku Raven yang terlihat sok dan tidak menghormatinya. Gadis itu berjalan cepat ke arahnya, lalu menarik kerah seragam Raven.
"Jangan membuatku kesal. Kau hanya penasihat kerajaan, sedangkan aku seorang putri—”
"Tidak ada seorang putri yang meluncur di tangga.” Suara Sorie membuat Laura berhenti berbicara.
“Sorie, kau lihat? Raven membakar burung dari tombakku! Dia membakar kekuatan kerajaanku!” lapor Laura dengan nada kekanakan.
“Dia melakukan hal yang benar, kan? Kita semua sudah menyepakati bersama, kalau di ruangan ini tidak boleh ada kekuatan sekecil apa pun.” Sorie kemudian duduk di singgasananya, sama sekali tidak menghiraukan Laura.
“Tapi aku hanya mencoba kemampuanku, tahu!” sanggah Laura.
“Laura,” panggil Sorie dengan nada yang cukup tegas, “perbaiki sikapmu. Kau itu putri kerajaan sekaligus saudara kembar raja. Kau tidak bisa selamanya bersikap kekanak-kanakan.”
Laura menutup mulutnya, tak berbicara lagi setelahnya. Sambil mendengus memendam perasaan kesalnya, gadis itu pergi meninggalkan ruang utama, entah kemana.
“Dia sangat berbeda dengan Raja Sorie, ya. Sikapnya sangat kekanak-kanakan padahal wajahnya sudah terlihat lebih dewasa. Berbanding terbalik dengan Anda,” ungkap Raven, “padahal kalian kembar.”
“Kembar tidak selamanya berarti sama, kan?” ujar Sorie.
“Yah, benar juga, sih.” Raven berjalan ke arah Sorie, berdiri tak jauh di depannya, “Sudah lama tidak ada yang melapor kemari. Hari ini ada aduan tidak, ya?”
“Semoga saja tidak ada.” Sorie menghela napas. Terbayang di kepalanya betapa sibuknya kerajaan ini bulan-bulan kemarin.
Pintu istana terbuka sesaat setelah Sorie mengucapkan perkataan terakhirnya. Seorang rakyat masuk dengan pengawal kerajaan yang mengikuti di belakangnya. Pria itu terlihat panik dan ingin segera bertemu dengan Sorie. Langkahnya terburu-buru, bahkan dia hampir tersandung.
“Pengaduan? Sudah seminggu sejak terakhir kali tentang kebakaran yang melanda salah satu rumah. Apalagi kali ini?” tanya Raven.
Pria yang datang menemui Sorie itu mengatur napasnya sebelum mulai berbicara kepada sang raja.
“Ada apa?” tanya Sorie tanpa menaikkan sedikit pun nada bicaranya.
“Maaf atas kelancangan saya sebelumnya, tapi saya mohon kepada Anda, Raja Sorie. Keadaan rakyat sudah tidak aman lagi. Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya menimpa kami semua,” jelas pria itu.
“Apa yang menganggu kalian sampai kalian meminta pertolonganku?” tanya Sorie lagi.
“Dua hari sebelumnya, seorang pemilik toko roti kehilangan uangnya karena diambil paksa. Beberapa warga juga mengaku uangnya diambil. Kemarin, sekitar tujuh orang mengalami hal yang sama kembali, termasuk saya.” Pria tersebut menceritakannya dengan jelas sehingga Sorie langsung dapat menyimpulkan apa yang terjadi.
“Uang diambil paksa?” Raven mengernyitkan dahi. “Itu artinya…”
Raven berpaling ke arah Sorie, mendapati raja muda itu setengah tak percaya dengan cerita rakyat tadi. “Perampok?”
Tanpa perlu dikaji ulang, Sorie yakin dugaan Raven benar. “Tapi, kalau hanya perampok... itu hanya masalah internal kecil, kan? Pengawal baru juga bisa menanganinya. Seperti waktu itu, ada salah satu warga yang mencuri barang tetangganya.”
“Mereka berbeda, Raja! Kecepatan dan ketangkasan mereka, belum pernah ada satu pun yang bahkan sempat melihat wajah mereka,” tutur pria itu sambil mengatur napas, “selain itu, mereka sepertinya bukan warga sini.”
Sorie tersentak, “Apa? Mereka bukan salah satu penduduk Negeri Utara?”
“Kalau begitu... mereka pendatang...” gumam Raven pelan, “masalahnya...”
Tatapan Raven bertemu dengan Sorie, menyiratkan kekhawatiran yang sama.
“Bagaimana mereka bisa masuk?”
---