Rerumputan di daerah selatan bergerak pelan mengikuti ritme angin sebelum seseorang menginjak satu per satu dari mereka, membuat gerakan damai mereka hancur seketika.
Gadis berambut cokelat dikuncir satu rendah melangkahi rumput-rumput hijau itu dengan cepat. Dia tak menghiraukan bunga-bunga indah yang biasa dicari para gadis. Diinjaknya begitu saja ketika dia lewat.
Langkah lebarnya terhenti di depan sebuah batu. Tanpa sadar, dia sudah sampai di titik tertinggi dari bukit yang dilewatinya. Dari sana, terlihat kastil megah beserta rumah-rumah rakyat.
Gadis itu tersenyum lebar, seperti singa yang menemukan mangsa lezat.
"Nah, di mana kau bersembunyi, makhluk kabut?”
---
“Satu, dua, tiga...”
“Hoi, kumpulkan uang hasil rampokan kalian!” Suara Levie menggema di setiap sudut ruangan berukuran 3 x 5 meter.
Di dalam ruangan yang terbilang cukup sempit untuk lima orang, sebuah barisan terbentuk dengan semua orang membawa uang.
Seorang lelaki berambut krem yang bertugas menghitung uang sempat terdiam beberapa detik melihat uang logam di depannya. Jumlahnya bahkan tidak sampai sepuluh.
“Riisa, apa kau kehilangan kemampuan merampokmu?” tanya lelaki itu.
Tangan Riisa menggebrak meja, “Jangan mengira aku akan lebih bodoh darimu, Hobart! Aku hanya salah target karena perkataan mereka menjanjikan!”
“Seorang Riisa salah target?—”
Sebilah pedang pendek terhunus di depan leher Hobart. Hobart terdiam, melirik ke samping kanannya dan mendapati Levie sedang menatap tajam ke arahnya.
“Walau begitu, dia masih lebih unggul darimu, tahu.”
Riisa tersenyum lebar penuh kemenangan setelahnya, “Itu benar! Aku hanya sekali ini melakukannya! Besok aku akan kembali membawa uang yang lebih banyak darimu!”
“Oke, oke, terserahlah.” Hobart menghela napas. “Berdebat dengan kalian berdua malah membuatku tambah repot.”
Levie dan Riisa bersorak kecil dan saling menepukkan tangan. Hobart melirik mereka sekali lagi, menyesal dalam hati kenapa dia masuk kelompok yang di dalamnya terdapat orang-orang merepotkan. Setahunya, umur mereka berbeda dua tahun, tapi mungkin karena berasal dari daerah yang sama dan keduanya merupakan anggota awal kelompok perampok ini, mereka bisa lebih akrab dari yang lain.
Ada untungnya mereka kompak karena mereka bisa merampok banyak orang jika bersama-sama. Namun, ada repotnya juga mereka punya pikiran yang sama saking akrabnya. Sekali ada yang disinggung buruk atau semacamnya, yang satunya langsung membela. Ditambah lagi, keduanya sama-sama merepotkan kalau sudah diajak adu mulut, membuat Hobart berusaha keras tidak membuat masalah dengan mereka.
“Kak Levie...,” panggil Hobart tak lama kemudian. Dia mengipas-ngipaskan uang rampokan di atas kepalanya.
“Sudah selesai?” Anggukan kepala Hobart menjadi jawaban pertanyaan Levie. “Berapa?”
“Lumayan, cukup untuk makan sampai besok,” Hobart mulai menghitung kembali.
Levie maju beberapa langkah, mendekati empat orang lainnya yang berubah dari barisan lurus menjadi setengah lingkaran di sekitar Levie.
“Deka.” Levie memanggil seorang anak berumur dua belas tahun dengan rambut kuning. Anak kecil yang mata kirinya sembunyi di balik penutup mata kain itu mendekati Levie dengan lembaran kertas di tangannya.
“Aku sudah menyimpulkan semuanya,” lapor Deka.
"Bagaimana?” tanya Levie.
"Ternyata memang benar kata Kak Levie sebelumnya. Karena Negeri Utara punya hubungan dengan tiga kerajaan lainnya, apa yang kita dapat di sini tak akan jauh berbeda dari negeri singgahan kita sebelumnya. Itu akan mempermudah pekerjaan kita,” jelas Deka.
Levie menyela Deka yang masih ingin melanjutkan bicaranya, “Sebentar, ada yang lebih penting dari itu. Soal apa yang dicari ketua, apa kau menemukannya? Kita di sini bukan hanya untuk merampok, kan?”
“Uhm...” Deka menunduk, membuka-buka lembaran kertas yang dia pegang. “Soal itu, aku belum dapat informasi.”
"Kalau begini, tak akan selesai dengan mudah,” ujar Levie, menghela napas pelan sambil melipat kedua tangannya di dada, “kita harus berusaha mungkin tak tertangkap sebelum tujuan utama kita tercapai.”
“Yah, kita tak perlu khawatir. Karena kita bisa lolos dari orang-orang berkekuatan kerajaan Negeri Timur sebelumnya,” timpal Hobart enteng.
“Tidak, kita tetap harus waspada. Negeri ini punya seseorang yang tidak kita temukan di Negeri Timur,” tegas Levie.
“Siapa?” tanya yang lain bersamaan.
“Calon Altamis Negeri Utara. Meski bukan orang berkekuatan, tak ada satu pun yang bisa mengalahkannya,” jawab Riisa mewakili Levie.
“Altamis?” Hobart mengernyitkan dahi. “Siapa itu?”
Levie menukas, “Panglima legendaris yang sangat kuat. Sebaiknya kau jangan meremehkannya.”
Deka menjentikkan jarinya, membuat semua perhatian mengarah padanya kembali, “Ah, kalau itu, aku dapat banyak informasi!”
“Jangan berkata seolah kau yang susah payah mencarinya, Bocah!” Seorang gadis menyela pembicaraan. “Aku yang kau suruh, kan?!”
Gadis berambut cokelat muda dikuncir tinggi sedang menatap Deka dengan aura membunuh. Usianya lebih tua dari Deka, satu tahun di bawah Riisa.
“Kau yang mencari, aku yang menyimpulkan. Adil, kan?” tukas Deka.
“Adil, katamu?!” bentak gadis itu, “aku lebih tua darimu dan lebih senior, tapi kau berlagak seperti atasanku! Bocah Kurang Ajar!”
“Sudahlah, Kara,” sela Hobart, “jangan naik darah di sini, oke?”
Kara menahan kesal di dalam dirinya, “Kalau begitu, marahi Deka juga, dong! Dia yang menyuruh-nyuruhku!”
“Memang tak pantas menyuruh-nyuruh senior, tapi kau juga... kenapa menerima suruhannya?” balas Hobart, “bodohnya.”
“Jadi, kau membela—”