Jam menunjukkan pukul setengah enam sore, Regi membereskan berkas-berkas yang ada di atas meja kerjanya. Setelah selesai, ia pun beranjak ke luar dari ruangannya untuk segera pulang ke rumah.
“Selamat sore, Pak Altar,” sapa seorang gadis saat Regi keluar dari ruangannya, gadis itu adalah sekretarisnya.
“Hm,” balas Regi tanpa melihat ke arah sekretarisnya itu, dan terus berjalan menuju lift.
Sambil menunggu lift yang akan membawanya ke lantai satu, Regi memainkan ponselnya mengecek email yang belum sempat ia buka. Lalu, beralih ke aplikasi WhatsApp-nya yang terdapat chatt dari grup kumpulan sahabatnya.
“Pak Altar mau langsung pulang?” tanya Dinda, sekretarisnya yang satu lift dengannya itu.
“Iya.”
“Nggak mau mampir ke mana dulu gitu, Pak? Ngopi-ngopi contohnya, saya tau, lho, tempat ngopi yang en—”
“Tidak!” potong Regi cepat, membuat Dinda berdecak dalam diamnya.
Gadis itu, begitu penasaran pada sosok Regi. Entah kenapa begitu sulit untuk mendekati Regi, bosnya itu terlalu dingin dan tertutup. Tidak akan bicara jika bukan masalah pekerjaan.
Suara lift berdenting, menandakan saat ini mereka sudah berada di lantai satu. Tanpa menunggu waktu lama, Regi langsung keluar lift, lalu berjalan cepat menuju ke parkiran. Dinda yang susah menyamai langkahnya dengan Regi hanya mendengus kesal. Tadinya, ia ingin menebeng pulang pada Regi, tapi bosnya itu malah berjalan dengan begitu cepat.
———
Ketika di tengah perjalanan, Regi memutuskan untuk berhenti, ia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Saat kedua matanya tak sengaja melihat anak kecil yang satu sekolah dengan Alexan, tengah duduk di depan warung sambil minum susu kotak. Ia pun keluar dari mobil, lalu berjalan menghampiri anak laki-laki yang tak ia ketahui siapa namanya itu.
“Hai,” sapanya yang membuat anak lelaki itu mendongakkan kepalanya.
“Om,” ucapnya sambil tersenyum.
“Boleh Om duduk di sini?” tanya Regi yang langsung diangguki oleh anak itu. “Kamu ngapain ada di sini?”
“Minum susu. Om, mau?” tawarnya yang langsung dibalas dengan gelengan kepala Regi.
“Kamu sama siapa di sini?”
“Sendili, Om.”
“Sendiri? Ini udah sore, kenapa belum pulang? Kalau orang tua kamu nyariin gimana?”
“Di lumah nggak ada siapa-siapa, Om. Jadi, Al pelgi ke sini nunggu Bunda pulang sambil minum susu,” jelas anak kecil itu, sambil mengayunkan kedua kakinya.
“Memangnya Bunda kamu ke mana?” Entah kenapa, Regi menjadi banyak bertanya seperti ini. Ia heran saja kenapa anak kecil dibiarkan sendiri tanpa ada yang menemani.
“Bunda lagi kelja, Om. Cali uang buat sekolah, Al.” Regi mengangguk paham mendengar jawabannya.
“Kalau Ayah kamu?” Anak itu terdiam, tidak menjawab pertanyaannya. Tidak seperti pertanyaan sebelumnya yang langsung dijawab cepat. Bukannya menjawab, anak laki-laki itu malah terlihat murung sekarang sambil menundukkan kepalanya.
Regi tak mengerti kenapa anak itu jadi murung, apa mungkin karena tidak suka dengan pertanyaannya?
“Emm ... biasanya Bunda kamu pulang jam berapa?” tanyanya mengganti pertanyaan.