"Kenapa kau baru pulang jam segini? Ke mana saja kamu seharian ini?"
"Ma- maafkan aku."
"Ini sudah ke tiga kalinya kamu pulang malam, apa kau lupa kalau harus pulang sebelum jam enam sore? Jawab, Jaka!"
Dengan takut Jaka mengambil satu langkah mundur, "Aku tidak akan melakukannya lagi, maafkan aku."
"Kamu sudah pernah mengatakan hal ini sebelumnya, sudah tidak ada maaf lagi untukmu. Sekarang ikut aku!"
Saat pergelangan tangan kanan Jaka ditarik secara paksa, tubuhnya ikut terseret dengan kencang, "Maafkan aku, aku janji tidak melakukannya lagi. Kumohon jangan hukum aku."
Di sebuah ruangan gelap yang seperti gudang Jaka dipaksa masuk, "Kamu tidak kapok sebelum diberi hukuman, sekarang masuk!"
"Tidak, jangan kunci aku di gudang. Aku janji tidak akan pergi main lagi sampai malam."
Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Jaka, "Karena terlalu sering main, nilai pelajaranmu pun turun. Sekarang renungkan kesalahanmu di sini."
Saat pintu di tutup, Jaka menggedor-gedor pintu dengan panik, "Tolong bukakan pintunya, aku tidak ingin dikunci di sini, di sini gelap, seram. A- aku janji akan lebih giat belajar lagi. Ayah, kumohon... tolong bukakan. Jaka janji akan menjadi anak yang baik. Ayah, kumohon buka pintunya."
.
.
.
Jaka membuka kelopak matanya dengan panik, nafasnya terasa sesak, seluruh tubuhnya penuh dengan keringat dingin, bahkan kepalanya terasa sangat sakit. Terlalu sakit seperti ada ribuan jarum yang sedang menusuk sampai masuk ke otaknya.
Yang tadi itu apa? Mimpi?
Tangan kiri Jaka mencengkram seprai kasurnya, sedangkan tangan kanan sedang sibuk menjambak rambutnya untuk menahan rasa sakit yang sedang dialami. Bahkan jantungnya yang berdetak terlalu cepat membuat sakit yang Jaka rasakan kian meningkat.
Panik dan juga takut masih bisa dirasakan seluruh tubuh Jaka. Sudah cukup lama dia tidak pernah mengalami mimpi buruk seperti ini.
Mata Jaka melirik ke arah jam dinding kamarnya, jam lima pagi. Dia harus mulai bersiap-siap berangkat sekolah.
Sambil mengatur napas agar tubuhnya tenang kembali, Jaka berbisik pelan, "Jangan gantikan aku, Vian. Kemarin kau sudah membuat masalah, jangan buat aku membencimu dan melakukan hal nekat."
Setelah semua rasa paniknya hilang, Jaka pun berangkat ke sekolah dan menjalani pelajaran dengan tenang. Tapi ada sesuatu yang terasa mengganjal, kenapa tidak ada satu pun perempuan yang mencoba mendekatinya?
Walau biasanya Jaka bersikap cuek dengan selalu menghindar, terkadang masih ada satu atau dua perempuan yang ingin mengajaknya bicara. Dan hari ini tidak ada satu pun.
Jaka memang senang dengan hal itu, tapi dia juga merasa aneh. Apa Vian melakukan sesuatu? "Apa mereka menghindariku?"
"Apa?" Yoga yang sedari tadi bersama dengan Jaka di kantin langsung menatap dengan bingung, kegiatan memakan bakso yang sempat ia lakukan bahkan sampai terhenti.
Sepertinya Jaka sudah menyuarakan pikirannya ya? Lebih baik langsung tanyakan saja dibanding terus dihantui oleh rasa penasaran, "Apa aku sedang dihindari? Rasanya aneh saat mendadak dijauhi perempuan."
Yoga mengernyit heran, merasa aneh mendengar ucapan temannya ini, "Jaka ingin didekati?"
"Tidak."
"Tapi bagiku wajar kok. Habis kau yang selalu menjauhi perempuan sekarang dekat dengan Putri, mereka pasti sadar sudah tak ada harapan lagi," jelas Yoga sambil mengarahkan garpu yang dipegangnya ke Putri yang berada di sisi lain kantin sekolah.