Hari Senin masih diisi dengan wajah suntuk murid-murid yang mau berangkat ke sekolah karena malas mengawali hari pertama dalam seminggu. Setelah hari Minggu bersantai-santai di rumah, tentu saja mereka malas memulai kegiatan belajar lagi.
Putri juga merasakan hal yang sama, walau alasannya memasang wajah malas begini sedikit berbeda dari yang lainnya. Dia bisa begini karena seorang Jaka Mahardika.
Kemarin Vian memang sudah menceritakan masalah yang dialaminya, tapi masih ada beberapa bagian yang tidak ingin dikatakan. Bagian yang seharusnya penting, tapi belum boleh diketahui oleh Putri.
Putri menghela napas, mungkin dia memang harus menunggu sampai Jaka atau Vian siap bercerita. Kalau cowok itu tidak menceritakannya secara detail, dia juga tidak tahu bagaimana harus membantu.
"Sudahlah," gumam Putri sambil mengeluarkan ponselnya dari saku rok seragam yang dipakainya kemudian menatap layar yang menyala, lagi-lagi kakaknya mengirim pesan hanya untuk menanyakan apa dia sudah sampai sekolah.
Seseorang merebut ponsel touch screen berwarna putih itu dari tangan Putri, "Siapa cowok ini?"
Putri menengok ke arah pelaku perebut ponsel. Ini pasti Vian, "Dia kakakku. Kembalikan ponselku, Vian."
Vian menjauhkan ponsel yang sedang dipegangnya, "Tunggu sebentar."
"Apa yang mau kau lakukan? Cepat kembalikan!"
Dengan cepat jemari Vian bergerak di layar ponsel untuk menyimpan nomornya, "Ini kukembalikan dengan bonus nomor ponselku."
Putri dengan bingung kembali mengambil ponsel yang diberikan Vian. Cowok ini mau memberitahu nomornya? Sejak dulu dia memang sangat ingin tahu, tapi tidak disangka Vian mau memberi tahu tanpa perlu diminta.
"Jaka tidak akan menghubungimu."
Tentu saja tidak akan. Memangnya untuk apa Jaka menghubunginya? Putri menatap kontak dengan nama Vian dengan tatapan malas, "Aku tahu."
"Sebagai gantinya aku pasti menghubungimu," dengan santai Vian mengambil beberapa helai rambut panjang Putri kemudian menciumnya.
Putri langsung mengambil jarak untuk menjauh, terkejut dengan interaksi yang diterimanya, "Berhenti menciumku seenaknya!"
Vian memberikan sebuah senyum kemenangan, tidak sia-sia dia sudah menggantikan Jaka hari ini, "Sudah kukatakan kan aku tidak akan menahan diri? Jadi berhenti protes dan nikmati saja."
"Apanya yang dinikmati?" protes Putri dengan nada jengkel.
"Nikmati hal yang hanya bisa kulakukan."
Bagaimana bisa dinikmati? Rasanya semakin membuat kesal karena Vian melakukan sesuatu tanpa lihat situasi dan kondisi. Putri menghela napas saat Vian malah berjalan pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Apa tidak aneh dia mulai terbiasa dengan ini?