Meski hanya sesaat, Jaka tidak mungkin melupakan tentang alter bermasalah yang sudah memakai nama ayahnya untuk menamai dirinya sendiri. Dan Jaka juga tidak lupa dengan masalah yang ikut ditinggalkan.
Berurusan dengan kakak kelas bukan hal yang Jaka harapkan, tapi Nakula sudah pernah mencari masalah dengan beberapa orang kakak kelas.
Jadi saat harus berpapasan dengan orang-orang itu lagi, secara refleks Jaka memberikan tatapan tajam serta mengeluarkan aura intimidasi. Terlihat seperti menantang berkelahi, dan sukses membuat mereka diam sebelum mengucapkan kalimat cibiran yang bisa membuat Jaka marah.
"Vian!!!"
Baru juga merasa puas telah menghindari masalah, Jaka dibuat bingung saat mendengar sebuah suara. Secara spontan dia menegok ke kiri dan ke kanan untuk mencari sumber suara, tapi tak terlihat ada orang yang sedang memanggilnya.
Walau yang dipanggil adalah nama Vian, Jaka tahu ini panggilan untuknya, apalagi pemilik suara adalah si anak baru bernama Alvian.
"Aku di atas."
Jaka menegok ke arah tembok yang memiliki tinggi dua setengah meter yang digunakan untuk memisahkan sekolahnya dengan sebuah kampus negeri terkenal.
Alvian sedang duduk di atas ranting pohon berukuran besar yang berada di samping tembok pembatas, tersenyum saat tatapan Jaka sudah mengarah padanya.
"Apa yang sedang kau lakukan!?" Jaka tidak dapat menahan nada tinggi suaranya, terlalu terkejut dengan keberadaan Alvian.
"Habis lihat-lihat kampus," seolah yang dilakukannya bukan merupakan kesalahan, jari telunjuk Alvian mengarah ke kampus.
Jaka syok. Di sekolahnya tidak ada satu pun murid yang mau melihat atau mendatangi kampus dengan cara menaiki tembok pembatas. Alvian yang pertama, dan mungkin menjadi satu-satunya. Anak baru ini pasti mendapat julukan badboy dalam waktu dekat.
Karena tidak mau berurusan dengan masalah yang baru Alvian buat, Jaka meneruskan langkahnya menuju parkiran sekolah.
"Kok ditinggal? Tungguin dong!!"
Mana mau Jaka menunggu dan ikut terlibat dalam masalah. Lebih baik juga langsung pulang, lagian dia juga berniat pulang bersama Putri hari ini.
"Jangan langsung pergi dong, kan aku masih mau ngobrol dengan Vian."
Jaka harus menghentikan langkahnya karena Alvian sekarang sudah menahan pergelangan tangannya.
Mau tidak mau Jaka harus kembali menatap Alvian yang sudah berdiri di sampingnya, entah seberapa cepat anak baru ini menuruni pohon setinggi lebih dari dua meter, "Aku tidak suka dengan orang yang sok kenal."
"Kita kan memang sudah saling kenal."
"Aku sama sekali tidak ingat punya teman pecicilan sepertimu, Al."
Alvian nyengir, "Vian juga sama-sama tidak bisa diam sepertiku kok."
Vian memang bukan tipe yang bisa berdiam diri lama-lama, tapi juga tidak seperti Alvian yang berada di tingkat pecicilan. Jaka menghela napas, lebih baik dia menanyakan hal yang membuatnya penasaran sejak tadi, "Berhubung aku sama sekali tidak ingat pernah berkenalan denganmu, kenapa kau sekarang tidak coba menceritakannya saja?"
"Vian kejam sudah melupakanku."
Yang Jaka butuhkan adalah penjelasan, bukan ekspresi sok sedih dari Alvian, "Berhentilah memanggilku Vian, namaku Jaka."
Dengan seenaknya Alvian menarik tangan kanan Jaka sampai mereka kini sedang berjabat tangan seolah ingin berkenalan, "Saat aku mengenalkan diriku, kau langsung memintaku memanggilmu dengan nama Vian."