Mau mengalami Alter Ego ataupun sudah sembuh, kenyataan tetap menyuruh Jaka untuk sesekali menginap di rumah ayah tirinya. Jaka mungkin bisa memaafkan kesalahan yang sudah dilakukan sang ibu, tapi Jaka tetap tidak mau mengakui sekarang sudah punya ayah baru.
Walau sang ayah tiri jauh lebih baik, mau membelikan apapun yang Jaka mau, dan juga menganggap Jaka sudah seperti anak sendiri. Yang Jaka akui sebagai ayah tetaplah Nakula.
Memang dulu Nakula sering marah-marah, bahkan sampai main tangan. Tapi Jaka tetap menolak menerima kehadiran ayah baru.
Mungkin ini yang namanya ikatan batin. Walau Nakula sampai memberikan trauma, Jaka tetap sayang pada sang ayah. Hanya saja rasa sayang Jaka pada Nakula tidak bisa membuatnya selalu menolak jika diajak menginap ke rumah sang ayah tiri.
"Mas Jaka."
Mata Jaka yang sedang menatap layar ponsel beralih ke arah seseorang yang memanggilnya. Seorang anak kecil berjenis kelamin perempuan, umurnya lima tahun. Dia sedang menatap Jaka dengan penuh harap, "Temani aku main ya?"
"Tidak mau," tolak Jaka yang kembali menatap ponsel dan mengabaikan anak yang merupakan adiknya. Anak dari ibu dan ayah tirinya, jadi secara langsung menjadi adik dari Jaka.
"Mas Jaka kan jarang menginap di sini, jadi temani aku main ya?"
"Lebih baik Cindy keluar rumah dan cari teman yang bisa diajak bermain."
Cindy menarik baju yang Jaka pakai dengan pelan, "Aku tidak boleh main ke luar, jadi Mas temani aku bermain ya?"
"Aku sedang sibuk belajar," yang sedang Jaka lakukan sesungguhnya adalah saling mengirim chat dengan Putri, tapi ini adalah satu-satunya alasan yang membuat Cindy menyerah memaksanya.
Puspa memang menyuruh Jaka agar bisa dekat dengan Cindy, tapi Cindy dilarang mengganggu Jaka yang sedang belajar oleh sang ayah tiri.
Karena permintaannya ditolak, Cindy berlari keluar dari kamar. Jaka dapat menebak apa yang berikutnya akan terjadi. Cindy mengadu pada Puspa dan dia pun dimarahi.
Jaka jadi penasaran apa yang biasanya Vian lakukan saat berada di rumah ini. Sayang sekali Jaka tidak mendapat ingatan tentang itu, padahal dia ingin melakukan hal yang sama juga. Ini memang pertama kali Jaka datang ke rumah ayah tiri saat sudah tidak ada Vian dalam dirinya.
Jaka mengambil posisi duduk di atas tempat tidur sambil melihat ke arah pintu, menunggu kedatangan Puspa. Mungkin kemarahan Puspa bisa memberi informasi apa yang biasanya Vian lakukan.
Pintu kamar terbuka, dan memang ada Puspa yang berjalan masuk, "Jaka, kenapa kamu selalu membuat Cindy menangis sih?"
Jaka menatap Cindy yang bersembunyi di belakang Puspa, tapi gadis kecil itu tidak sedang menangis, "Aku tidak suka anak kecil."
"Cindy kan adikmu, setidaknya kamu bisa menemaninya kan?"
Sebenarnya Jaka tidak punya masalah apapun jika harus menghadapi anak kecil, tapi Jaka sedikit merasa tidak nyaman harus menghabiskan waktu bersama Cindy. Vian juga pasti sama. Buktinya penolakan yang Jaka lakukan tidak dianggap aneh, "Tetap tidak mau."
Puspa menghela napas, "Padahal hari ini kamu sudah mau berdiam diri di rumah dan tidak main ke luar, tapi kenapa masih menolak menemani Cindy?"
Jaka langsung berdiri karena sudah diingatkan sesuatu yang sangat penting, "Aku baru mau main ke luar sekarang. Aku sudah janji ingin main dengan temanku, kalau begitu aku pergi sekarang."
Dengan terburu-buru Jaka pamit kemudian langsung keluar rumah. Tentu saja Jaka bisa melakukan ini setelah Puspa memberi izin.
Jaka melangkah menelusuri komplek perumahan, jika dia sudah sampai ke lapangan olahraga kemungkinan besar ada orang yang mengenalinya.
Vian pasti menghabiskan waktu dengan melakukan olahraga macam apapun di lapangan yang dimiliki komplek perumahan ini. Jadi kemungkinan besar ada seseorang seperti Alvian lagi.
Setelah sampai di lapangan, Jaka melihat ada dua orang yang sedang bermain basket. Salah satunya adalah orang yang sudah tidak asing lagi, Alvian.
Sudah Jaka duga Vian kenal dengan Alvian di sini. Karena Jaka merasakan tubuhnya sering lelah hanya setelah menginap di rumah ayah tirinya saja. Jika Jaka yang mengambil alih kesadaran saat di rumah ayah tiri, tidak ada rasa lelah apapun yang Jaka dapatkan.
Vian sukses bertindak egois dan terabaikan oleh Jaka. Sungguh terlambat mengetahui kelakukan Vian karena Jaka tidak bisa mengajukan protes sekarang.
"Ah, Vian!"
Saat Alvian memanggil sambil melambaikan tangan dengan begitu bersemangat, Jaka hanya bisa memberi respon dengan senyuman.
"Apa Vian mau ikut main juga?" setelah berjalan mendekati Jaka, Alvian bertanya dengan nada bersemangat.
Jaka menatap orang lain yang masih berada di tengah lapangan. Dia tidak kenal orang itu, tapi bisa saja Vian kenal seperti kasus Alvian.
Alvian ikut melihat ke arah yang sama, "Oh, kau belum kenal Ridho ya? Dia memang tidak sering main di sini sih."
Jadi bisa disimpulkan yang bernama Ridho itu orang asing di kehidupan Jaka ya? Mudah-mudahan saja dugaan ini benar. Tapi saat tatapan mereka bertemu, Jaka merasakan firasat buruk karena ekspresi wajah Ridho berubah. Cowok berambut keriting itu terlihat terkejut.
"Tunggu, apa kalian sudah saling kenal?" karena juga menyadari perubahan ekspresi Ridho, Alvian bertanya dengan heran.