Gadis berambut hitam legam sepunggung dengan balutan baju seragam yang keluar dari roknya tersenyum hambar. Sepasang matanya menatap ke bawah dari atas balkon sekolah yang memiliki gedung tiga lantai. Bulir air mata menetes jatuh melewati pipinya. Ia memutuskan bahwa hidupnya memanglah harus berakhir dititik ini juga. Keadaanlah yang memaksanya untuk berhenti menjalani kehidupannya. Untuk sekarang, yang ada di pikiran gadis itu adalah mati! Akhiri semuanya dengan kematian! Semua akan usai, habis, tanpa sisa.
Nadin Nadia, gadis cantik berumur 16 tahun lebih dua bulan empat hari. Perempuan yang masih duduk dibangku kelas 1 SMA itu bersiap untuk segera terjun dari atas gedung ini. Ia sudah lelah jika setiap hari harus terus mendengarkan percekcokan kedua orang tuanya. Dan sepertinya, percekcokan itu tidak akan pernah menemui titik akhir.
Lalu, untuk apa ia hidup? Lagipula, tidak ada satu pun manusia yang peduli lagi dengannya di dunia ini. Lihatlah, bahkan ia sama sekali tidak mempunyai alasan yang cukup untuk masih bisa menetap di dunia ini.
Gadis itu melangkah satu kali maju ke depan. Nadin maju satu langkah lagi untuk mengikis jarak antara dia dan kematiannya. Tinggal dua langkah lagi, maka ia akan sangat dekat dengan Tuhan. Dia tidak akan lagi memikirkan dunia yang berisi ribuan luka baginya. Bahkan dia juga tidak akan mendengarkan pertengkaran orang tuanya yang merepotkan di alam baka nanti.
Nyaris, hampir saja Nadin berniat melangkahkan kakinya lagi. Tiba-tiba saja ada laki-laki yang datang dan menarik tangan Nadin. Kejadian yang begitu cepat membuat Nadin terkejut dan terjatuh menimpa laki-laki itu. Mereka saling memandang manik mata masing-masing, terjadi lumayan lama karena mereka berdua sama-sama saling terpesona. Mengagumi ciptaan indah Tuhan yang sekarang berada di depan mata kepala sendiri.
“Lo nggak papa?” Laki-laki itu membuka suara untuk pertama kalinya. Suara baritonnya yang berat terdengar begitu khas. Mungkin pita suara seperti itu hanya ada satu pemiliknya di dunia ini, yaitu dia.
Laki-laki itu menatap Nadin prihatin ketika ia melihat mata sembab gadis itu. Warna hidung yang sedikit memerah juga ikut serta menghiasi wajah cantiknya. Bahkan, ada beberapa ada air mata yang sudah mengering di pipi gadis itu.
“Ngapain lo di sini?” Bukannya menjawab, Nadin malah bertanya balik dengan nada ketus. Ia menyorot tajam dan menghentikan tangisannya.
“Lebih baik kita berdiri dulu deh. Nggak enak ntar kalau ada orang yang liat. Mereka bisa mikir yang macem-macem,” sambungnya.
“Oh iya.” Nadin buru-buru bangkit dari jatuhnya sebelum ada orang yang melihat mereka.
“Gue ke sini mau baca buku aja, sih,” kata laki-laki itu sambil berusaha untuk berdiri.
“Cuma baca buku harus ke balkon?” tanya Nadin, ia mengernyitkan keningnya heran. Setengah tidak percaya dengan ucapan pemuda itu.
“Iya.” Laki-laki itu mengangguk.
“Gue, Andra. Andra Mahesa. Kelas dua belas IPA satu.” Andra mengulurkan tangannya seraya berkenalan setelah mereka berdua berdiri.
“Nadin, Nadin Nadia.” Nadin membalas uluran tangan laki-laki yang berdiri di hadapannya. “Meskipun lo adalah kakak kelas gue, dan dua tahun lebih tua dari gue. Gue males manggil lo dengan embel-embel kakak! Catet!”
“Gue nggak peduli, terserah lo mau panggil gue apa. Btw, gue udah tau siapa lo,” jawab Andra.
“Siapa gue?” Nadin sedikit membeo. Jarinya menunjuk ke arah dirinya sendiri.
“Iya. Lo anak kelas sepuluh yang kerjaannya telat masuk sekolah tiap hari. Dan lo selalu dapet hukuman hormat bendera sampai jam sembilan pagi, iya, kan? Eh, tapi seinget gue. Lo juga pernah dihukum buat hormat bendera sampai pulang, kan?” Andra tersenyum sambil mengangkat sebelah alisnya.
Nadin terkejut dengan penuturan laki-laki yang mengaku bernama Andra. Mengapa dia bisa tahu soal itu semua?
Seperti sebuah saluran semangat yang hangat. Nadin tersenyum kala laki-laki itu menjabat tangan kanannya. Gadis itu menatap kedua mata Andra dalam. Laki-laki itu juga melakukan hal yang sama, sedikit menunduk karena tinggi Nadin hanya setelinganya. Karena tidak ingin melepaskan dan tetap berada di posisi ini, Nadin menjabatnya erat. Tapi waktu sepertinya memang ditakdirkan untuk berjalan cepat. Andra pun menjadi pengawal lepasnya jabatan tangan mereka berdua. Padahal dalam lubuk hati yang terdalam, Nadin masih ingin menjabat tangan itu.
“Lo kok bisa tau kalau gue sering telat?” tanya Nadin, sepasang matanya menatap tidak percaya.
Dia ini terkenal di sekolah karena cap “cewek trouble” melekat pada dirinya. Tidak mungkin jika ada seseorang yang mau repot-repot memperhatikannya. Sudah galak, sering telat, suka mengajak guru adu mulut lagi. Ia juga tidak punya seorang teman di sini, karena jarang ada murid yang mau berteman dengan murid urakan seperti Nadin.
Tapi tidak papa, lagipula, baginya sendiri adalah bahagia. Kesepian adalah ramai untuknya. Punya teman atau tidak itu sudah tidak penting lagi untuk dipermasalahkan dengan semesta.
“Gue liat,” kata Andra.
Nadin terdiam dan berpikir sejenak. Berarti laki-laki itu memang sering memperhatikannya. Tidak mungkin jika Andra memperhatikannya hanya sekali tetapi berani menyatakan; bahwa Nadin adalah gadis yang sering terlambat.
Andra berjalan untuk mengambil buku bacaannya yang tak sengaja ia jatuhkan karena berlari mengejar Nadin. Laki-laki dengan kulit putih, serta tinggi jangkung itu duduk di balkon dan membuka lembaran bukunya satu persatu.
Mata Nadin masih terus mengawasi pergerakan laki-laki itu.
“Lo beneran, ke sini cuma mau baca buku doang?” tanya Nadin lagi karena dia tidak percaya.
“Iya. Buat apa gue bohong?”
“Ya, siapa tau lo mau nguntitin gue?” tanya Nadin menyelidik, matanya menatap tajam. Rambutnya yang tergerai sedikit berdansa karena sepoi angin yang menerpanya.
“Enggaklah, ngapain juga gue nguntitin lo? Kurang kerjaan banget.” Andra mendengus, ia mengernyitkan keningnya, heran. Tidak mengerti dengan jalan pikiran yang ada di otak gadis di hadapannya.
“Terus, ngapain dong lo di sini?”
Malah tanya lagi, batin Andra dongkol.
“Gue udah bilang kan, gue mau baca buku. Gue cuma mau nyari ketenangan aja. Gue suka nggak konsentrasi kalau lagi rame,” jelas Andra.
Akhirnya Nadin hanya ber”oh” ria.
“Jangan terus-terusan berdiri di situ. Sini duduk!” ucap Andra tanpa menatap Nadin. Mata laki-laki itu lebih terfokus pada buku bacaannya.
Nadin duduk di samping Andra, gadis itu duduk dengan menyilangkan kedua kakinya. Sama seperti apa yang Andra lakukan.
“Lo bukannya yang juara paralel, ya?” tanya Nadin. Setelah mengamati laki-laki itu lebih detail. Wajahnya terlihat tidak asing bagi Nadin.
Ya, cowok itu cowok yang semester satu kemarin maju ke tengah lapangan untuk mengambil hadiah karena mendapat juara satu paralel. Desas-desusnya, cowok itu memang sudah sering menjadi juara paralel tahunan di sekolah ini. Maklum, Nadin murid baru, wajar jika dia belum tahu banyak hal tentang sekolah ini, baru setengah tahun Nadin bersekolah di SMA Nusa Bakti.
“Bisa dibilang gitu, mungkin. Ya, tapi kenyataannya emang gitu sih.” Andra terkekeh sebentar.
“Oh.”
“Kenapa kalau gue juara paralel?”
“Enggak papa, sih. Cuma tanya.”
“Oh, gue kira lo mau naksir sama gue.”
Nadin melirik Andra tajam sedangkan Andra hanya nyengir sambil memperlihatkan deretan giginya yang berjajar rapi. Dia menyebalkan.