Me and Brokenhome

pinxila
Chapter #2

2. Frustrasi

Nadin berjalan gontai menaiki satu persatu anak tangga menuju ke kamarnya. Seperti biasa, keadaan rumahnya sepi, hanya ada keheningan yang menyeruak. Mama dan papanya belum pulang sore ini. Baguslah, jadi Nadin tidak perlu repot-repot mendengarkan suara kegaduhan dari mereka berdua.

Suasana kamar yang remang-remang mulai terlihat saat Nadin membuka pintu. Nuansa kamar ini mirip sekali dengan keadaan hidup Nadin yang sekarang, penuh dengan kesuraman dan juga kesedihan.

Gadis itu berdiri termangu di depan pintu. Sepasang matanya menatap keadaan kamar yang telah lama ia tempati.

“Andra.” Senyuman gadis itu mengembang.

Nadin meletakkan tasnya di atas meja belajar. Gadis itu berjalan pelan menuju jendela dan membuka gordennya. Gorden yang terbuka membuat pencahayaan di kamar ini semakin membaik. Suasana remang-remang itu menghilang menjadi terang. Sepertinya Nadin memang perlu mengganti warna cat tembok di kamar ini agar dindingnya tidak terlalu terlihat begitu kusam. Dan agar terlihat sedikit berwarna.

“Warna pastel kayaknya cocok.” Nadin bergumam pelan.

Nadin mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamarnya. Hingga ia kembali menemukan satu pigura bersisi foto lamanya. Kira-kira, itu adalah foto sepuluh tahun yang lalu. Foto keluarga, mama dan papanya tersenyum bahagia. Serta gadis kecil berumur enam tahun yang tertawa lebar memeluk erat papanya ketika digendong.

“Nadin!” terdengar suara mamanya yang memanggilnya dari bawah dengan berteriak. Hal itu membuat lamunan Nadin mendadak terbuyarkan.

“Ya, Ma?” sahut Nadin tak kalah keras.

Gadis itu keluar dari kamar. Masih mengenakan seragam sekolahnya Nadin berlari kecil menuruni anak tangga.

“Sini, makan!”

Nadin menghampiri mamanya yang tengah duduk sendirian di meja makan.

“Iya.” Nadin menarik satu kursi tepat di hadapan mamanya.

“Gimana sekolah kamu?” tanya Sandra, mama Nadin. Wanita itu udah berusia 37 tahun di tahun ini.

“Biasa aja.”

“Gimana temen-temennya?”

“Nadin nggak punya temen, Ma...” Raut wajah Nadin berubah menjadi datar. Dari awal mungkin dia sudah tidak tertarik dengan pertanyaan mamanya mengenai sekolah. Karena jujur, tidak ada yang menarik di sekolahnya kecuali hukuman yang selalu menantinya ketika kesiangan.

Sandra menatap Nadin prihatin. Karena pertikaiannya dengan Edo–papa Nadin, Nadin yang harus menjadi korban pertikaian orang tua seperti ini. Terbesit rasa bersalah di benak Sandra. Ia seorang ibu, ia juga bisa merasakan kepedihan yang sedang diderita anaknya saat ini. Tapi apa boleh buat? Bahkan dirinya sendirilah yang menjadi alasan penyebab anaknya merasakan kepedihan seperti ini.

“Tumben kamu udah pulang? Nggak ngurusin selingkuhan kamu lagi?” tiba-tiba suara laki-laki menggelegar dari balik tembok. Dia Edo, ayah Nadin.

Mata Sandra melotot tajam, “apa maksud kamu? Kamu yang selingkuh.”

Mulai lagi, batin Nadin. Nadin tidak jadi memakan makanannya padahal ia sudah menyiapkan nasi dan lauk ke piringnya. Tinggal memakannya, tetapi suasana buruk yang tak terduga tiba-tiba datang lagi menghampirinya. Hal itu membuat nafsu makannya menjadi jelek.

“Dasar nggak ngaca!” teriak Edo.

“Aku nggak selingkuh. Kamu yang selingkuh!”

Plak!

“Jaga ucapan kamu, ya!” Edo menampar pipi kiri Sandra.

Nadin kembali berjalan menuju kamarnya. Ia malas untuk mendengarkan perkelahian di antara kedua orang tuanya. Terserah, Nadin sudah lelah menghadapinya. Seperti biasa, ia akan masuk ke kamar dan melakukan ritual tidurnya. Agar telinga sucinya tidak mendengar umpatan-umpatan penuh dosa dari mulut kedua orangnya.

Gadis itu mendekati jendela dan menutup kembali gorden yang tadinya membiarkan banyak cahaya masuk. Kini kamar gadis itu kembali lagi menjadi gelap dan remang-remang.

Nadin merebahkan tubuhnya di atas ranjangnya. Matanya yang terpejam sulit untuk tidur ketika telinganya masih mendengar suara keributan dari bawah.

Nadin kembali terduduk, berdiri, kemudian berjalan mendekati tembok. Nadin lumayan keras membenturkan kepalanya berkali-kali ke tembok. Hal itu akan membuat Nadin menjadi pusing dan akan segera tertidur. Ritual sehari-harinya ketika ia mendengarkan kedua orang tuanya bertengkar dan tidak ingin mendengarkannya. Cukup membenturkan kepalanya ke tembok berkali-kali. Atau meminum obat penenang agar segera melayang dan tertidur hingga esok pagi.

Gadis itu berjalan gontai kembali menuju ranjangnya. Ia merebahkan tubuhnya dalam keadaan pusing dan batinnya terluka. Tangannya mengambil bantal yang ada di bawah kepalanya untuk menutupi telinganya. Kemudian ia mulai perlahan memejamkan matanya rapat-rapat. Mencoba menghitung domba dari angka satu hingga ia benar-benar terlelap dalam tidur dan menjumpai mimpi indah.

🏠

“Gue pikir, sekolah ini melarang keras murid yang merokok di lingkungan sekolah.” 

Nadin terlonjak kaget ketika mendengar suara laki-laki yang tiba-tiba muncul di belakangnya. Padahal sebelumnya, ia belum pernah tertangkap basah ketika merokok di balkon ini. Sepertinya laki-laki itu memang dihadirkan untuk menghapus warna gelap di dalam hidupnya.

Nadin menoleh, ia mendapati Andra sedang berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya. Mata laki-laki itu memandangnya lekat. Mata itu teduh, tidak berwarna hitam, tapi sedikit berwarna cokelat. Rambutnya dibiarkan panjang sampai melebihi kerah bajunya. Entah memang disengaja, atau ia memang lupa untuk memotongnya. Laki-laki itu, penuh dengan kharisma.

“Apa sih, Ndra?”

“Sejak kapan lo ngerokok?” Andra mengambil secara paksa satu puntung rokok yang berada di antara jari telunjuk dan jari tengah Nadin.

“Balikin, Andra!” Nadin berdiri dan berbalik menghadap Andra. Tangannya mencoba meraih sebatang rokoknya yang sekarang berada di tangan laki-laki itu.

“Sejak kapan lo ngerokok?” Andra mengulangi pertanyaan yang sama, pertanyaan yang belum dijawab oleh Nadin.

“Balikin dulu!” Nadin bersungut-sungut. Tangannya berkacak pinggang.

Jelas Andra tidak mengembalikannya dengan semudah itu. Andra mengangkat tangannya lebih tinggi untuk menjauhkannya dari jangkauan Nadin. Nadin yang hanya setinggi telinga Andra merasa kesusahan meraih sebatang rokok yang berada di tangan Andra. Beberapa kali ia meloncat untuk menggapainya. Andra juga melakukan hal yang sama, untuk menghindarkan Nadin dari rokok sialan itu.

“Jawab dulu!” jawab Andra tegas, mata laki-laki itu menatap Nadin dengan tatapan tajam.

Lihat selengkapnya