Jam menunjukkan pukul 14.15 siang, kini Aluna duduk di bangku taman sekolahnya sendirian. Padahal, bel pulang sudah berbunyi sejak 15 menit yang lalu. Tetapi, Aluna belum mau pulang, karena jika ia pulang ia akan berada di rumah sendirian. Ia bosan sendiri, hidupnya terasa monoton selama ini. Melakukan apa yang ia bisa secara berulang-ulang, ia menginginkan sesuatu yang baru. Yang selama ini bisa orang lakukan, tetapi tak pernah ia lakukan. Misalnya, hangout bersama teman-temannya ke suatu tempat.
Kadang Aluna merasa iri saat melihat orang-orang seusianya yang berkumpul di salah satu tempat, mereka bisa tertawa bersama, bercanda bersama, menghabiskan waktu liburan bersama. Aluna ingin sekali merasakan itu, tetapi jangankan untuk bisa melakukan semua itu. Memiliki teman pun Aluna terbatas, teman-temannya masih bisa dihitung dengan jari. Apalagi, teman-teman yang ia punya juga berbeda dengan orang lain.
Terkadang Aluna bingung sampai sekarang, kenapa orang-orang banyak yang memandangnya berbeda. Lalu, apa salahnya jika Aluna berbeda dari mereka? Aluna hanya tak mengerti kenapa mereka menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk tidak berteman dengannya. Bukankah berteman bisa bersama siapa saja, tanpa memandang siapa dia, anak siapa dia, dari mana dia berasal? Bukankah berteman dengan tulus itu, ketika kita menerima siapapun orang itu yang mau menjadi teman kita? Lalu, kenapa rasanya berbeda untuk Aluna?
Aluna terperanjat saat merasakan tepukan di bahunya, lamunannya juga seketika menjadi buyar. Ia tak lagi melamunkan apa yang selama ini memenuhi pikirannya. Ia menolehkan kepalanya ke samping kanan, saat itu juga ia melihat teman satu kelasnya yang baru saja menepuk bahunya.
“Kenapa belum pulang?” tanya temannya itu, menggunakan bahasa isyarat.
“Sebentar lagi aku pulang,” jawabnya yang juga menggunakan bahasa isyarat.
Menggunakan bahasa isyarat bukan hal yang asing lagi untuk Aluna, selama bertahun-tahun ia diajarkan bahasa isyarat oleh gurunya. Apalagi, selama berada di sekolah ia selalu menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan teman-temannya. Selama ini Aluna bersekolah di sekolah luar biasa, sekolah di tempat orang-orang yang berkebutuhan khusus. Perbedaan yang ada padanya, yang membuat Aluna bisa bersekolah di sana. Namun, ia tak pernah menyesal sekolah di sana, itu lebih baik untuknya. Daripada bersekolah di sekolah yang normal, tetapi ia tak pernah tenang karena terus-terusan dihina dan dicaci.
“Ayo kita pulang bersama, aku sudah dijemput. Kamu ikut bersamaku saja, rumah kita searah, ‘kan?” ajaknya. (Bahasa isyarat)
Aluna menganggukkan kepalanya, mengiyakan ajakan temannya itu, dia adalah Delia. Teman sekelas sekaligus teman sebangkunya selama ini, yang selalu membantunya ketika ia merasa kesulitan saat belajar. Delia tidak bisa mendengar dan berbicara, karena itu dia bisa bersekolah di sekolahan yang sama dengannya. Padahal, Delia gadis yang cantik dan baik hati. Meski begitu, Tuhan pasti memiliki alasan menciptakan Delia dengan memiliki keterbatasan dalam hidupnya.
Tidak seperti Aluna, gadis itu bisa berbicara dengan lancar dan juga bisa mendengar dengan baik. Hanya saja karena satu hal, yang membuatnya bisa terlihat sama seperti Delia dan teman-teman sekelasnya yang lain.
Aluna bangkit dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan taman sekolah itu bersama Delia. Sekolahnya sudah tampak sepi, mungkin karena memang yang lainnya sudah pulang sedari tadi. Keduanya berjalan menuju mobil yang terparkir tak jauh dari sekolahnya, Delia memang selalu diantar jemput oleh supir pribadinya.
“Aluna!” panggilan itu membuat Aluna menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.
“Altar,” ucapnya.
Delia yang melihat Aluna berhenti, sontak ikut berhenti dan menoleh mengikuti arah pandangan Aluna. Saat itu juga, ia melihat sosok cowok yang tak dikenalinya.
“Kamu dari kapan ada di sini?” tanya Aluna bingung, karena saat keluar dari sekolah ia tak melihat siapapun di depan gerbang.
“Dari 20 menit yang lalu, aku nungguin kamu di sana,” jawabnya sambil menunjuk ke tempat tadi ia menunggu Aluna.
“Terus, mau ngapain kamu ke sini? Bukannya kamu harus ada di sekolah?” tanya lagi Aluna.
“Hari ini aku pulang cepat, jadi sekalian aku jemput kamu.”
Aluna mengangguk mengerti, lalu menoleh pada Delia yang kini menunjukkan ekspresi herannya.
“Dia siapa?” tanya Delia. (Bahasa isyarat)
“Namanya Altar, dia sahabatku,” jawabnya. (Bahasa isyarat)
“Dia mau menjemput kamu?” (Bahasa isyarat)
Aluna menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, membuat gadis itu tersenyum. Sedangkan, Altar yang melihat mereka berkomunikasi dengan bahasa isyarat tidak mengerti sama sekali apa yang mereka bahas.