“Serahkan semua kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sebaik – baiknya rencana adalah rencana-Nya. Yang harus kita lakukan hanya ikhlas dengan segala keputusanNya.”
Dua puluh empat tahun yang lalu, lebih tepatnya saat Syahila baru berusia dua tahun. Ia mengalami kecelakaan berupa kepalanya tertimpa buah kelapa langsung dari pohonnya yang mempunyai tinggi lebih kurang dua meter. Akibatnya, Syahila mengalami koma selama dua bulan. Karena Syahila tidak juga sadar dari komanya, dan dokter telah melakukan segala macam cara untuk membuatnya sadar namun tetap gagal.
Dokter spesialis bedah syaraf yang menangani Syahila memanggil kedua orang tua Syahila. Dokter Andre menjelaskan bahwa sudah tidak ada harapan untuk Syahila hidup, maka dokter mengusulkan untuk menyuntik mati Syahila untuk kebaikannya, daripada harus melihat Syahila yang koma berbulan – bulan yang akan menyakiti diri Syahila sendiri, disamping itu juga biaya rumah sakit yang memang tidak terjangkau membuat dokter menawarkan penawaran itu kepada orang tua Syahila.
“Ya tidak bisa begitulah dok, banyak juga kok kasus orang yang koma lebih lama dari Syahila yang akhirnya sadar. Kalau saya menyetujui hal itu sama saja saya membunuh darah daging saya sendiri, dalam agama saya hal itu di larang.” Jawab Pak Agus dengan nada yang sedikit meninggi.
“Saya ibunya, saya yang telah mengandungnya selama 9 bulan, yang telah melahirkannya dengan taruhan nyawa, yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Dan sekarang dokter bilang dengan mudahnya agar saya menyetujui untuk menyuntik matinya? Dokter sehat?” Ucap Bu Nur yang sudah tidak dapat mengontrol emosinya. Sedangkan dokter berusaha memahami reaksi dari kedua orang tua Syahila.
“Itu demi kebaikan Syahila juga pak, bu. Jika terlalu lama dibiarkan seperti itu, kasihan anaknya juga.” Ucap dokter Andre berusaha menenangkan sepasang suami istri tersebut.
“Saya ibunya, saya yakin Syahila suatu saat nanti pasti sadar.” Ucap Bu Nur sambil menunduk dan mulai menangis. Pak Agus langsung merangkul dan menyandarkan kepala istrinya dipundaknya.
“Lagipula bukannya di Indonesia hal itu dilarang yaa dok?” Tanya Pak Agus.
Tiba – tiba ada perawat yang masuk ke ruangan dokter Andre memberitahukan bahwa dokter harus segera datang ke ruangan Syahila.
Dokter langsung berjalan cepat menuju ruangan tempat Syahila dirawat. Di perjalanan menuju kesana Dokter Andre menanyakan kondisi Syahila. Orang tua Syahilapun mengikuti langkah kaki dokter dan perawat dengan perasaan khawatir karena memang beberapa hari ini Syahila mengalami kejang – kejang yang sangat dahsyat.
Setibanya disana, Pak Agus dan Bu Nur hanya dapat menunggu diluar, mereka hanya dapat berdoa yang terbaik untuk Syahila. Walaupun itu berarti harus kehilangan Syahila untuk selama – lamanya mereka sudah ikhlas, daripada melihat anaknya yang mungil itu menderita.
Sudah hampir 30 menit berlalu dokter Andre belum keluar juga, Pak Agus dan Bu Nur tentu sangat cemas. Bu Nur yang hanya bisa terduduk sambil menangis dan doa tak pernah terputus darinya.
Serta Pak Agus yang dari tadi mondar mandir di depan ruangan Syahila. Saat dokter keluar, Pak Agus dan Bu Nur langsung menanyakan keadaan Syahila.
“Alhamdulillah, Syahila sudah sadar. Namun kondisinya masih sangat lemah, bapak dan ibu bisa menemuinya setelah kondisi Syahila sudah cukup stabil.” Ucap Dokter Andre tersenyum.
Mendengar kabar bahagia itu Pak Agus langsung sujud syukur atas keajaiban yang telah diberikan Allah SWT kepada Syahila. Sedangkan Bu Nur masih menangis, bahkan tangisannya kini semakin deras. Namun, kali ini bukanlah tangisan kesedihan, melainkan tangisan kebahagiaan. Pak Agus langsung mengabarkan kepada keluarga besarnya atas sadarnya Syahila. Setelah keadaan Syahila stabil, Pak Agus dan Bu Nur diperbolehkan untuk melihat Syahila dengan ditemani oleh dokter.
“Sya, ini mamah nak.” Ucap Bu Nur, mengusap rambut Syahila perlahan.
Sedangkan Pak Agus hanya menatapnya penuh haru, beliau tak percaya akan melihat Syahila kembali membuka mata melihat dunia.