Sepulang sekolah, Syahila melihat ayahnya yang sedang duduk di kursi depan dengan di temani secangkir kopi dengan tangan kanannya yang memegang sebatang rokok yang sedang dihisapnya.
Sementara tangan kirinya memegang ponsel untuk membaca berita di internet. Syahila melangkahkan kakinya sambil tangan kirinya membuka pagar rumah.
“Assalamu’alaikum.” Ucap Syahila dan ia melangkahkan kakinya mendekat kearah ayahnya.
“Wa’alaikumussalam.” Jawab ayah dan ibunya bersamaan, yang mana ibunya baru keluar dari arah dapur dengan membawa sepiring pisang goreng.
Bu Nur meletakan pisang goreng itu di meja yang berada di sebelah suaminya, dan setelah itu ia pun duduk di kursi sebelahnya. Syahila langsung menyalami kedua orang tuanya itu dengan penuh penghormatan. Kemudian ia duduk dilantai tak jauh dari kedua orang tuanya.
“Ayah masih tidak setuju jika aku ingin bersekolah di SMPN 1 Nusantara?” Tanya Syahila to the point.
“Bukan tidak setuju, hanya kurang setuju.” Jawab ayahnya yang mencoba mengajak Syahila bercanda karena kini pertama kalinya melihat wajah Syahila yang sangat serius.
“Si ayah tuhh gimana sihh? Kalau begitu mah intinya sama saja kalau ayah tidak setuju.” Kata Bu Nur dengan sedikit logat sundanya yang khas menanggapi ucapan suaminya.
“Ya sudah tidak apa – apa kalau begitu, tapi aku mau bernegosiasi dengan ayah.” Kata Syahila, ia mencoba menyusun kata – kata yang akan di bicarakan kepada ayahnya di dalam otaknya.
“Tentang apa itu?” Tanya sang ayah penasaran.
“Jika ayah tidak mengizinkanku masuk ke SMPN 1 Nusantara tidak apa – apa, tapi aku mau masuk pesantren saja. Aku sudah mendaftarkan diri ke salah satu pesantren yang ada di luar kota, dan minggu depan aku tes masuk pesantren itu.” Kata Syahila hati – hati.
“Kamu serius? Di pesantren itu nantinya nyuci sendiri, masak sendiri Sya. Nanti kamu akan kesusahan sendiri Sya.” Ucap Ibu Nur yang melihat keadaan tangan kanan Syahila yang sampai sekarang belum pulih juga. Sedangkan ayahnya hanya terdiam tidak berkata apa – apa.
“Ayah...” Panggil Syahila.
Dan saat itu juga ayahnya langsung menasehati Syahila tentang bagaimana kehidupan di pesantren. Dari banyaknya kegiatan yang sangat padat, budaya mengantri dimana - mana, dan semua itu dilakukan sendiri. Mencuci, menyetrika, memasak, semuanya dilakukan sendiri.
Ayahnya juga memberitahu Syahila bahwa di pesantren harus disiplin, jika tidak disiplin pasti selalu ada hukumannya. Ayahnya memberitahu tentang kehidupan di pesantren yang diketahuinya. Waktupun berlalu, tak terasa 2 jam sudah ayahnya bercerita tentang kehidupan di pesantren.
“Kamu siap?” Tanya ayahnya kepada Syahila. Syahila memejamkan mata sejenak sambil menarik nafas dalam – dalam dan menghembuskannya perlahan.
“Aku siap.” Jawab Syahila cepat, karena Syahila yakin kedua orang tuanya tidak akan mengizinkannya untuk masuk pesantren.
Sehingga mau tidak mau orang tuanya akan menuruti keinginan Syahila. Namun, tak pernah ada dalam pikiran Syahila bahwa ayahnya akan menyetujuinya untuk masuk ke pesantren, niat Syahila membicarakan hal ini adalah agar ayahnya lebih memilih memasukannya ke SMP yang diinginkannya, bukan untuk benar – benar masuk pesantren.
Minggu depannya Syahila berangkat ke pesantren yang akan dimasukinya untuk melaksanakan tes tulis sekaligus wawancara. Ia diantar hanya oleh ibunya karena ayahnya harus pergi bekerja.