“Yang aku butuhkan hanyalah sebuah kepercayaan, karena kepercayaan adalah kekuatan yang paling kuat setelah doa."
Setelah sholat ashar, Syahila dan ayahnya sedang melihat nama – nama yang lulus masuk ke pesantren tempat tes yang diikutinya.
Ayahnya terus men-scroll daftar nama – nama anak yang lulus di website pesantren itu, dan sampailah pada nama terakhir tetapi ayahnya belum menemukan nama Syahila dalam daftar itu.
“Sepertinya kamu tidak lulus dehh Sya.” Ucap Sang ayah, dalam nada bicaranya terdapat nada kekecewaan yang sangat jelas terdengar oleh Syahila.
Sempat ia menyesal karena telah merusak harapan sang ayah, walau awalnya memang ayahnya itu sedikit keberatan jika ia memasuki pesantren.
Jika melihat reaksi ayahnya seperti ini, di satu sisi ingin rasanya Syahila mengulang kembali saat dia melakukan tes, ingin rasanya ia mengerjakan soal dengan sungguh – sungguh agar ia tidak melihat kekecewaan di wajah ayahnya seperti sekarang. Namun, di sisi lain, ia juga ingin masuk ke sekolah yang memang sudah lama ia impikan.
Syahila tidak dapat membayangkan bagaimana jika ayahnya mengetahui hal yang sebenarnya bahwa ia hanya main – main tentang masuk pesantren itu.
Syahila sampai merasakan kepalanya yang semakin berat, seakan ia tidak mempunyai tenaga untuk mengangkat kepala di depan ayahnya karena rasa bersalah yang sangat dalam.
Saat Syahila semakin menundukkan kepalanya, tiba – tiba wajah sang ayah berubah menjadi sumringah.
“Sya, ternyata kamu lulus Sya. Kamu berada di nomor 12, ternyata daftar nama yang lulus itu tidak di urutkan sesuai abjad, tapi diurut sesuai hasil nilai tes kemarin. Ayah bangga sama kamu Sya.” Ucap ayahnya bahagia.
“Masa sihh yah? Mungkin itu namanya saja yang sama, coba di cek lagi yah.” Pinta Syahila yang terkejut mendengar apa yang telah diucapkan sang ayah.
“Enggak kok, namanya Syahila Afsheen Myesha. Itu benar kamu Sya.” Kata ayahnya lagi.
Sebenarnya, Syahila bahagia melihat wajah ayahnya yang sekarang. Rasa bahagia dan rasa bangga sekarang terpancar dari wajah tegasnya.
Berbeda dari wajah sebelumnya yang penuh dengan rasa kecewa, Syahila lebih senang melihat wajah ayahnya yang seperti ini daripada wajah yang sebelumnya. Namun, yang Syahila bingungkan adalah bagaimana bisa dirinya lulus masuk ke pesantren sedangkan ia saat mengerjakan soal saja asal – asalan.
Ketika wawancarapun, ia menjawab dengan jujur bahwa ia mengikuti tes ini agar ia diizinkan untuk sekolah yang sudah lama ia impikan. Namun, jika melihat wajah ayahnya seperti ini, Syahila bersyukur karena Allah telah mengizinkannya untuk menggoreskan rasa bahagia kepada orang tuanya walau hanya sesaat.
Syahila memutuskan untuk membiarkan ayahnya yang sedang berbahagia meski hanya sesaat. Sebelum ia mengatakan hal yang sebenarnya.
Keesokan harinya, orang tua Syahila langsung ke pesantren tersebut untuk melakukan daftar ulang. Walau memang dengan biaya yang sedikit menguras kantong, tetapi orang tuanya Syahila langsung melakukan daftar ulang dan membeli keperluan apa saja yang dibutuhkan oleh Syahila di pesantren nanti.