“Semakin banyak cobaan menerpa,ingatlah! Kasih sayang Allah lebih banyak kepada kita, para hamba-Nya.”
Hari itu Syahila dan ibunya pulang dengan wajah yang terlihat bahagia. Di rumahnya, ayah Syahila telah menanti akan surat kelulusan Syahila. Syahila melihat ayahnya sedang memberi makan burung peliharaannya, setelah sang ayah menyadari bahwa istri dan anaknya sudah kembali.
Beliau langsung menanyakan hasil dari belajar Syahila kurang lebih satu setengah tahun di sekolah tempat Syahila belajar kini. Bu Nur menyerahkan surat kelulusan Syahila yang masih disegel itu kepada suaminya.
Sang ayah langsung membuka dan membaca surat itu lalu ia menggaruk – garuk pelipisnya yang tidak gatal. Sesekali ayahnya juga melihat ke arah Syahila.
“Wah, Sya, kalau melihat nilaimu seperti ini kamu lulus banget masuk SMP Nusantara.” Ucap ayahnya.
“Kan Sya sudah bilang ayah, Sya bisa masuk kesana. Ayahnya saja yang tidak mempercayai Sya.” Ucap Syahila pada ayahnya.
“Tapi tidak apa – apa, kamu masuk pesantren saja. Biar belajar agamanya lebih daripada di sekolah umum.” Kata Sang ayah.
Syahila menundukan kepalanya, tatapan matanya meredup memancarkan kekecewaan, dan itu tertangkap oleh pandangan ayahnya.
“Tapi Sya mau masuk ke SMP Nusantara ayah.” Ucap Syahila lirih.
Ayahnya yang melihat putri sulungnya sedih itu merasa tidak tega, ayahnya berencana untuk memasukan Syahila ke SMP yang selama ini diinginkannya itu. Karena Syahila sudah membuktikan bahwa dirinya dapat mencapai nilai rata – rata untuk masuk ke sekolah impiannya, bahkan lebih.
Namun ayahnya berfikir akan biaya yang telah dikeluarkannya untuk mengurus daftar ulang yang memang tak sedikit ke pesantren tempat Syahila mendaftar, belum lagi barang – barang yang memang wajib dibawa ke pesantren.
Bukan maksud ayahnya hitung – hitungan, namun ayahnya juga memikirkan bagaimana dengan kedua adiknya Syahila yang juga membutuhkan biaya sekolah. Karena Syahila terlahir dari keluarga yang sederhana, sehingga harus menggunakan uang dengan sangat bijak agar dapat mencukupi semua kebutuhan.
Ayahnya Syahila hanyalah seorang karyawan swasta sedangkan ibunya hanyalah ibu rumah tangga, sehingga penghasilan keluarga kecil mereka hanya dari sang ayahnya.
Saat Bu Nur mengetahui niat suaminya itu, Bu Nur langsung menasehati Syahila agar masuk ke pesantren saja. Karena agar Syahila mendapatkan ajaran agama yang lebih daripada orangtuanya, selain itu untuk mengurangi pengeluaran keluarga mereka karena sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mendaftarkan Syahila ke pesantren.
Ingin rasanya Syahila menolak akan hal itu, tapi Syahila mengingat bagaimana perjuangan ayahnya yang kerja siang dan malam berusaha untuk menghidupi keluarganya.
Maka Syahilapun mencoba menerima dengan lapang dada, karena hal ini merupakan dampak ulahnya sendiri yang meminta orang tuanya untuk mendaftarkan dirinya ke pesantren.
“Ini namanya senjata makan tuan.” Rutuknya dalam hati.
Niat Syahila meminta orang tuanya untuk mendaftarkannya ke pesantren adalah hanya untuk membuat ayahnya agar mengizinkan dirinya untuk memasuki sekolah impiannya.
Saat mengikuti tespun, ia sangat yakin bahwa dirinya tidak akan di terima di pesantren tersebut. Tapi nyatanya, sekarang dirinya akan benar – benar masuk pesantren.