Keadaan Fahmi sudah membaik, Fahmi sudah diperbolehkan pulang dari 2 minggu yang lalu. Fahmi pun sudah bisa menggerakan tangan kirinya perlahan yang masih dibalut perban.
Saat Fahmi sedang fokus dengan kesembuhan tangan kirinya, Syahila disibukan dengan persiapannya ke pondok pesantren yang akan menjadi rumah kedua baginya. Ia sedang mengecek satu persatu barangnya yang akan dibawa ke pesantren, tentunya dengan bantuan sang ibunda.
Syahila melihat ibunya itu bagai tangan kananya sendiri, maksud tangan kanan disini bukanlah arti sebagaimana kebanyakan orang pahami. Namun, tangan kanan disini adalah arti tangan kanan yang sebenarnya.
Karena sampai saat ini, tangan kanan Syahila mengalami kelumpuhan, sehingga semua aktifitas kehidupan dilakukannya hanya dengan tangan kirinya. Sulit memang, maka dari itu ibunya selalu ada untuk membantunya.
Tangan ibunya bagai tangan kanan baginya. Tapi terkadang ada dimana saat ibunya tidak selalu bersamanya, seperti di sekolah atau saat Syahila main di rumah temannya.
Syahila yang memang menulis dengan tangan kiri menjadi pusat perhatian saat ia pertama kali masuk sekolah. Syahila yang tidak bisa mengikuti beberapa pelajaran olahraga karena kondisi tangan dan kaki kanannya yang mengalami gangguan syaraf, bahkan sebenarnya Syahila itu tidak bisa mengenakan sandal jepit yang biasa orang gunakan.
Maka dari itu orang tuanya selalu membelikannya sandal yang ada tali dibelakangnya. Agar sandal yang ia pakai tidak mudah terlepas. Setelah mengecek berulang kali barangnya, Syahila berangkat ke pesantren diantar oleh kedua orangtuanya.
Hari – hari pertama Syahila di pesantren pastilah mengalami kesulitan karena belum terbiasa. Terlebih lagi, karena keterbatasan fisik Syahila sehingga ia harus memutar otak untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan dengan dua tangan menjadi dapat dilakukan dengan satu tangan.
Seperti sekarang, ia sedang berusaha memakai jilbab peniti yang mana itu adalah jilbab wajib untuk pergi ke sekolah. Ini adalah kali pertama ia memakai jilbab berpeniti, biasanya ia langsung menggunakan jilbab langsungan agar lebih mudah. Namun karena aturan pondok mengharuskannya maka mau tidak mau Syahila harus memakainya.
Hal itu membuat perhatian orang – orang yang berada di sekitarnya, antara ingin membantu serta penasaran apakah Syahila dapat melakukannya dengan satu tangan atau tidak. Teman sekamarnya ada yang menawarkannya bantuan, tapi di tolak oleh Syahila.
“Jika aku terus menerima bantuan dari orang lain kapan aku bisa mandiri? Semangat Sya, kamu pasti bisa!” Kata Syahila dalam hatinya.
Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya jilbab putih itu sukses menutupi rambut Syahila dengan sempurna. Ia nampak anggun dan terlihat lebih rapi dari sebelumnya, Syahila menghembuskan nafas lega.