Malam itu Syahila baru masuk ke kamar sehabis dari musholla menunaikan sholat Isya, namun saat ia memasuki kamarnya, hanya ada Kiana yang sedang duduk menyandar ke ranjangnya.
Wajahnya murung, tatapannya sembab, kepalanya tertunduk ke bawah dan tangannya memegang secarik kertas. Syahila melihat hal itu sudah tentu bingung, karena selama ini Kiana adalah tipikal orang yang ceria.
Syahila mendekat ke arah Kiana, ia melangkah dengan hati – hati khawatir akan memperburuk suasana hatinya.
“Kia, kamu kenapa? Kalau ada masalah cerita sama aku yaa.” Ucap Syahila dengan hati – hati.
Tidak ada jawaban dari Kiana, ia hanya terdiam dan meneteskan air mata yang semakin lama semakin deras. Syahila semakin bingung dengan tingkah Kiana, tiba – tiba Kiana menoleh kearahnya dan langsung memeluk erat sambil menangis.
Syahila sangat terkejut saat itu, namun akhirnya ia membalas memeluk Kiana untuk menenangkannya. Syahila terus memeluk Kiana dengan menepuk – nepuk punggungnya pelan. Saat dirasa Kiana sudah sedikit tenang, barulah Syahila mencoba bertanya kepadanya.
“Sudah yaa, jangan menangis lagi, coba sekarang kamu cerita sama aku. Barangkali aku bisa bantu.” Kata Syahila menawarkan diri.
Sedangkan Kiana tampak menimbang – nimbang, namun pada akhirnya dia menyerahkan secarik kertas yang sejak tadi dipegang olehnya kepada Syahila.
“Aku dikasih surat ini sama anak kelas delapan, tapi katanya ini dari kak Nisa adiknya kak Shofi.” Ucap Kiana memberitahu Syahila.
Syahila langsung membaca surat itu sambil sesekali beristigfar memohon ampun pada Allah SWT
Eh, Kiana! Gak usah caper sama kakak gue deh. Inget dia tuh punya ade, yaitu gue! Ya walaupun gue tahu kak Shofi itu suka sama kakak lu, tapi gue kagak suka lu deket – deket sama kakak gue. Semenjak ada elu di sini, kak Shofi lebih perhatian sama elu dibanding gue. Awas ya lu kalau gue liat lu caper sama kakak gue lagi, sampai kapanpun gue kagak bakalan setuju kak Shofi sama kak Jay, kakak lu itu.
“Kalau semua santri begini, lama – lama pesantren ini kosong karena santri barunya pada pindah sekolah karena gak betah.” Ucap Syahila, ia melirik ke arah Kiana yang masih menundukan kepalanya dengan tangan yang gemetar.
Syahila hanya bisa menghela nafas setelah membaca surat itu, ia tidak habis pikir salah satu adik kelasnya ada yang sangat kekanak – kanakan, cemburu dengan kakaknya kandungnya sendiri namun malah menegur orang lain.
Yang Syahila inginkan adalah jika ada masalah itu lebih baik dirundingkan terlebih dahulu apalagi mereka adalah saudara kandung, bukan malah mengancam orang yang tidak bersalah seperti ini.