“Perempuan itu hanya menunggu, menunggu pangeran mengetuk pintu. Menyampaikan maksud tertentu, meminta menjadi calon imammu.”
“Sya, maafin Satria ya, Satria gak bermaksud buat Sya sedih.” Ucap Satria tulus setelah mencium pipinya tanpa izin.
Syahila hanya melihatnya sekilas, lalu ia kembali menangis kepada ibunya. Satria merasa permintaan maafnya itu tidak diterima langsung menundukan kepalanya, pandangannya menatap lantai.
Di satu sisi ia takut terkena marah oleh Bu Nur karena telah membuat Syahila menangis. Namun disisi lain, Satria memang tidak sengaja membuat Syahila menangis.
Melihat itu, Bu Nur tersenyum dan berusaha memahami situasi yang sebenarnya sedang terjadi.
“Satria gak mau lihat Sya nangis, tapi gimana ini? Sya gak maafin Satria, padahal Satria cuma senang karena Sya berhasil masuk 5 besar. Satria bangga sama Sya, jadi Satria cium Syahila.” Kata Satria dalam hati.
“Sya anak baik, kalau ada yang minta maaf sikapnya harus baik sayang, gak boleh dicuekin gitu. Allah aja maha pemaaf, masa kita umatnya enggak? Memangnya Sya mau kalau Sya berdoa sama Allah minta ampun atas dosa – dosa yang Sya perbuat terus sama Allah di cuekin? Sya mau Allah cuekin Sya?” Kata Bu Nur memberikan pengertian kepada Syahila.
Syahila hanya menggelengkan kepalanya, ia melirik kearah Satria yang sedang menundukan kepalanya.
Merasa diperhatikan, Satria mengangkat kepalanya dan mengulurkan kembali tangannya kepada Syahila dan tersenyum tulus kepadanya.
Syahila melirik ibunya yang mengangguk memberikan isyarat, setelah itu Syahila menjabat tangan Satria tanda bahwa ia sudah memaafkannya. Mata Satria seketika berbinar, ia merasa senang Syahila telah memaafkannya.
“Alhamdulillah Ya Allah, makasih ya Sya udah mau maafin Satria. Satria tahu kok Sya itu orang baik.” Ucap Satria sambil tersenyum.
Syahila hanya tersenyum sedikit dipaksakan karena ia masih kesal dengan tindakan Satria.
“Tante, boleh gak kalau nanti Satria udah gede, Satria mau nikah sama Sya?” Tanya Satria kepada Bu Nur.
Sudah pasti Bu Nur dan wali kelasnya langsung berpandangan dan menatap Satria dengan tatapan tak percaya, sedangkan Syahila kebingungan karena tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan.
Bagaimana bisa anak berumur 6 tahun sudah berbicara seperti itu? Namun, akhirnya Bu Nur tersenyum lembut kepada Satria.
“Kalau seperti itu, Satria harus belajar yang rajin biar pinter ya.” Ucap Bu Nur kepada Satria.
“Satria janji akan rajin belajar tante.” Jawab Satria dengan wajah yang bersungguh – sungguh.
“Untuk sekarang, Satria belajar dulu ya. Jangan pikirin itu dulu, belajar yang pinter. Raih cita – cita buat orangtua bangga. Pertahankan prestasimu ya.” Kata wali kelasnya menasehati.
Bu Nur masih saja tersenyum melihat kepolosan Satria dan Syahila. Karena kepolosan mereka, mereka jujur dengan perasaan yang mereka rasakan sehingga tidak ada kesalahpahaman.
Bu Nur masih memaklumi Satria karena ia belum benar – benar mengerti, namun dengan terjadinya kejadian ini, Bu Nur dapat lebih waspada untuk menjaga anak perempuannya.
Ia tidak ingin hal serupa terhadap putrinya lagi. Namun tetap saja, Bu Nur pasti tersenyum sendiri jika mengingat kejadian itu. Dan saat Syahila tiba – tiba tidak masuk sekolah lagi, Satria menjadi lebih pendiam di kelasnya. Padahal sebelumnya, Satria adalah anak yang sangat ceria.
Bu Ely, wali kelasnya pun menyadari akan perubahan sikap Satria. Ia mengerti perasaan Satria, kehilangan sosok teman yang sangat dekat dengan dirinya merupakan hal yang menyedihkan.
Sebagai wali kelas, Bu Ely mencoba menghibur Satria yang terlihat murung akhir – akhir ini.
“Satria kenapa gak main sama yang lain?” Tanya Bu Ely saat melihat Satria hanya duduk didekat jendela menatap keluar.
“Satria kangen Syahila bu, kenapa Sya tidak sekolah lagi?” Tanya Satria dengan wajah murung.
“Satriakan sudah tahu Syahila itu menjalani operasi kepalanya biar Sya cepet sembuh. Emang Satria gak mau lihat Sya sembuh?” Bu Ely mencoba memberi pengertian kepada Satria.
“Satria tahu itu bu, tapi ini sudah seminggu. Kenapa Syahila tidak masuk sekolah lagi?” Tanya Satria lagi.
“Sya juga perlu istirahat, setelah operasi Sya harus banyak istirahat biar cepet pulih. Apalagi Sya operasi bagian kepala, jadi butuh istirahat yang lebih lama. Nanti jika Sya udah baikan Sya akan sekolah lagi. Makanya Satria doain Sya biar cepet sembuh ya.” Ucap Bu Ely menenangkan hati Satria. Namun, pada kenyataannya sampai waktu wisuda TK pun Syahila belum juga kembali.
Sampai pada akhirnya, Satria mengikuti seminar pra nikah yang diadakan di kotanya. Ia berpapasan dengan dua orang perempuan ditangga, dan Satria merasa familiar dengan salah satu perempuan tersebut.
Sadar sedang diperhatikan, salah satu perempuan itu tiba – tiba menatap kearahnya. Karena terkejut, Satria langsung mengalihkan pandangannya kearah lain.
Perempuan itu berbisik kepada temannya lalu mempercepat langkahnya menuruni tangga, meninggalkan temannya dibelakang.
“Sya, tunggu aku! Pelan – pelan saja Sya, nanti kamu jatuh.” Ucap perempuan yang satunya lagi.
Saat Satria berpapasan dengannya, ia tersenyum sopan dan segera menyusul temannya yang sudah mulai menjauh.
“Syahila Afsheen Myesha, tunggu aku!” teriak perempuan berkerudung hitam itu memanggil perempuan berkerudung merah muda.
Langkah kaki Satria terhenti seketika, ia langsung berbalik arah menuruni tangga dengan tergesa. Satria mencari dua perempuan tersebut namun terlambat. Kedua perempuan itu telah hilang entah kemana.
Satria telah berlari mengelilingi tempat tersebut, namun tidak menemukannya. Ia sangat menyesal karena ia tidak dapat mengenali perempuan yang sudah lama ia cari.