Pagi ini matahari bersinar begitu terik. Membuat Kamboja kepanasan. Apalagi dengan hoddie tebalnya. Rasanya ingin melepasnya tapi ketakutan dalam dirinya lebih besar daripada sebuah rasa kepanasan. Lebih baik keringat nya yang bercucuran karena kepanasan daripada harus menahan rasa sakit itu lagi. Terbully dengan tatapan-tatapan yang membuat dirinya ingin mati.
Mungkin sekarang hatinya sudah mati tapi bagaimanapun juga orang hidup masih punya perasaan kan?
Itu kadang yang membuat Kamboja seakan menyerah pada hidup.
Hidup terbully. Karena wajahnya yang buruk rupa. Juga predikatnya yang sebagai anak dari tersangka pembunuhan.
Setidaknya itu yang Kamboja ingat. Ayahnya seorang pembunuh. Ia membunuh ibu dan adik kandungnya sendiri. Bahkan itu di lakukan di depan matanya. Seakan kenangan itu masih basah dalam pikirannya. Bagaimana bisa ia seingat itu. Cairan kental merah pekat yang memenuhi rumahnya. Terseret akibat kaki yang sudah menginjaknya.
Ah Kamboja ingin melupakan kenangan itu. Sudah lah ia tak ingin membahasnya lagi.
Ia berjalan menuju kelasnya dengan cepat. Menghiraukan orang-orang yang menatapnya dengan tatapan aneh.
Kamboja menunduk. Hal itu sudah menjadi kebiasaannya. Ujung sepatu kumalnya lebih menarik daripada melihat dunia yang menurutnya begitu kejam.
Langkahnya kemudian berhenti ketika ada tangan besar yang meraih tangannya. Tubuhnya bergetar. Ia takut. Sangat takut. Namun saat melihat sepatunya. Ia mengenalnya. Sepatu itu...
Kamboja mendongak. Poninya yang menutupi hampir sebagian wajahnya tersingkap sedikit.
Wajah tampan dengan senyuman yang ia lihat waktu itu. Dia..
Kenapa dia ada disini?
"Kamu.. yang kemarin kan?"
Tanya pria itu sambil tersenyum manis.
Kamboja hanya menunduk sambil mengangguk cepat. Ia ingin pergi. Pergi secepatnya dari pria tinggi di depannya. Pria ini berbahaya menurutnya. Setiap ia mempertemukan netranya dengan pria tersebut jantungnya berpacu tidak normal. Seperti.. ingin keluar dari tempatnya. Ini gawat. Kamboja membalikan badan. Saat hendak melangkah tangan besar itu kembali menahan pundak ringkihnya.
"Tunggu!"
"A-apa?"
Kali ini entah keberanian dari mana Kamboja membuka mulutnya. Membalikan badannya menghadap pria di depannya. kamboja masih menunduk dia tak berani menatap mata sang pria.
"Hey lihat aku.. kenapa kau selalu menunduk?" Tanyanya dengan lembut.
Sekali lagi Kamboja hanya menggeleng.
Pria di depannya terkekeh "kau ini sering sekali menggeleng ya? Ah, kau tau kelas XI IPA 3? Kebetulan aku murid baru disini.. dan.. aku tak tau kelas nya dimana..
Bisa kau tunjukan?"
Hati Kamboja mencelos. Baru kali ini ada pria yang bersikap baik padanya. Berbicara kelewat lembut dengan gadis buruk rupa sepertinya. Ia terus bertanya-tanya dalam hati. Apa ini mimpi? Ah apalagi pria di depannya tampan sekali. Kamboja tak bisa menampik fakta itu. Sepertinya dia bukan manusia bagi Kamboja tapi.. malaikat.
"Kenapa diam?" Tanyanya lagi karena Kamboja malah terdiam tak menjawab.
"Emm. Baiklah.. mari ku a-antar."
Kamboja membalikan tubuh kecilnya berjalan lebih dulu dan di ikuti pria di belakangnya. Pandangan-pandangan murid lain tertuju padanya. Oh tidak tentunya pada pria tampan di belakangnya. Bahkan Kamboja mendengar gadis-gadis itu berbisik tapi tak seperti berbisik ia mendengarnya dengan jelas.
"Siapa itu?"