Aku takkan membiarkan pembunuh hidup dengan tenang.. nyawa harus di bayar nyawa.." vivi mendesis.
Melangkahkan kakinya menuju Kamboja. Emosi menguar memenuhi ruang kelas yang masih hening. Belum banyak murid yang datang di pagi itu.
Kamboja berjengit. Tubuhnya bergetar ketika sadar Vivi menatapnya dengan marah. Manik mata Vivi memerah menatap Kamboja dengan nyalang. Lalu sedetik kemudian tangan kosongnya yang terkepal melayang. Meninju rahang Kamboja dengan kasar.
BUAAAAKKKK
BUUUUGGGG
BAAAAAAKKK
Kepalanya terhuyung beberapa kali menghantam tembok di sampingnya. Cairan merah kental mengalir dari hidungnya. Bibirnya sobek. Perlu kalian ketahui bahwa Vivi itu adalah atlet tinju. Jelas tenaganya bukan main-main untuk seorang Kamboja.
Kamboja meringis. Menegakkan tubuhnya sambil memegangi kepalanya yang berdenyut. Menyentuhnya tanpa sadar bahwa cairan merah pekat itu juga mengalir dari pelipisnya.
Sakit. Netranya mulai buram. Bayangan Vivi kini mulai pudar.
"Ini bukan apa-apa, aku akan membunuhmu! Untuk Alesia!"
Bayangan Vivi lambat laun kini mulai menghilang. Kamboja merasakan sakit yang amat sangat. Bahkan kesadarannya kini mulai hilang. Tak ada yang menolong. Ia tak sadarkan diri di atas meja nya.
***
"Kamu kenapa sayang?"
Gadis berambut sebahu itu masih bungkam. Sorot matanya lurus ke depan terpaku pada jalanan yang cukup lenggang di bawah sana. Manik coklat pria berambut blonde di sampingnya mengikuti arah pandang gadisnya. Menggenggam tangannya erat. Sesekali mengusap rambut kepalanya dengan lembut.
"Jangan sedih, masih ada aku di sini sayang, aku akan selalu ada untukmu."
Perlahan bulir bening itu telah penuh memenuhi pelupuk matanya. Tubuhnya lemas. Bersender di antara bahu sang pria.
Bagaimana bisa ia tenang dengan segala kehilangan. Dan dendam yang belum terbalas...
Alesia, adalah teman baiknya.. segalanya mereka lakukan bersama.. sampai kehilangan pun. Sepertinya cukup membuat Vivi terpukul.
Kepalanya menengadah bersamaan dengan rintik kecil yang mulai turun dari atas sana. Seakan ikut merasakan pilu yang ia rasakan.
"Udah mau hujan.. Kita kembali ke kelas yuk.. " ajak Felix lembutĀ
Felix itu kekasihnya. Satu-satunya orang penyembuh baginya setelah Alesia.
Kini ia harus menjaga Felix. ia tak mau sampai kehilangan orang yang sangat ia cintai.
Melangkah kan kakinya pelan mengikuti langkah kaki lebar Felix tanpa melepaskan jari-jemarinya mereka yang saling bertaut.
"Fel,"
Felix menoleh. Menatap gadisnya dengan lamat. Binar matanya masih memancarkan rasa kasih sayang yang sama saat lima tahun yang lalu. Selama itu dan sesetia itu. Maka Vivi selalu menganggap Felix adalah hidupnya.
"Apa sayang?"
"Mau janji sesuatu?"