Netra kelam itu masih saja tak mengalihkan pandangannya ke seorang gadis yang terlelap di sebuah bangkar ruangan bercat putih itu. Aroma obat yang kental bahkan tak mengalihkannya dari tempat yang ia duduki sedari tadi. Ada banyak pertanyaan di kepalanya. Namun ia enggan untuk bertanya. Ia hanya berusaha mencoba mencari jawaban tersendiri. Terutama, tentang gadis di depannya.
Kelopak yang tertutup tadi mulai bergerak. Terbuka secara perlahan. Hal yang ia sorot pertama adalah wajah khawatir Adam dengan alis yang mengerut. Bibirnya mulai terbuka seakan ingin cepat-cepat mengutarakan sesuatu.
Namun Kamboja merasa ia ingin bicara terlebih dahulu. "A-dam. Aku ada di mana?"
Netranya sempat melirik ke penjuru ruangan. Juga selang bercairan bening yang menancap di tangannya.
"Kamu ada di rumah sakit sekarang.. tadi kamu pingsan. Apa.. ada yang sakit?"
Adam menatap Kamboja dengan lamat. Kamboja terdiam. Desiran aneh mulai menjalar di sekujur tubuhnya ketika dua pasang manik hitam kelam itu bersatu. Kamboja mengalihkan pandangannya. Mengapa ia seperti ini jika di dekat Adam? berulang kali pertanyaan itu ada di pikirannya. Namun tak ada yang menjawab. Apa mungkin ia berada di rumah sakit ini karena keadaan jantungnya yang semakin memburuk itu?ah entahlah. Sepertinya itu kesimpulan yang bisa di ambil Kamboja sebelum ia mendengar satu pernyataan dari Adam.
"Kata dokter.. kau kelelahan.."
Kelelahan? Sepertinya..... tidak. Aku bahkan baru berangkat sekolah. Batin Kamboja.
Kamboja terdiam. Menatap lurus ke depan. Mengingat-ingat hal yang membuatnya tak sadarkan diri tadi. Namun bias suara Adam mengintrupsi kegiatannya.
"Kamboja.. apa ada sesuatu?"
Kamboja menoleh bibirnya terbuka sedikit seakan ingin menjelaskan tentang apa yang terjadi tapi ia urungkan. Ia juga masih bingung dengan apa yang ia rasakan. Mengapa mimpinya menjadi kenyataan.
Kamboja bangkit tanpa menjawab pertanyaan Adam. Ia berusaha melepas selang infus yang menancap di tangannya namun tangan besar Adam berhasil menghalanginya.
"Kamboja apa yang kau lakukan?!!"
Tangan besar itu menggenggam kedua tangan Kamboja dengan erat. Kamboja menenggelamkan wajahnya. Lalu tiba-tiba Adam merangkul Kamboja. Kamboja tersentak. Tangan besar nan hangat itu kini telah membelai lembut punggung ringkih Kamboja.
"Kalau ada apa-apa bicarakan.. jangan di pendam. Aku temanmu.. kan?"
Hati Kamboja menghangat. Bersamaan dengan bulir bening yang jatuh dari matanya. Baru kali ini ia merasakan di peluk seorang pria yang ia sukai.
"Mau pulang?" Adam melepas pelukannya lalu menunduk menatap manik hitam kelam itu dengan lamat.
Kamboja menatap netra Adam lalu mengangguk dan mengalihkan pandangannya sebelum jantungnya itu terpompa dengan keras lagi. Kamboja merutuki dirinya sendiri. Sepertinya dengan jarak satu meter pun Adam bisa mendengar gemuruh jantungnya yang sampai kini tak bisa diam itu. Terdiam sambil meremat ujung hoddienya sebelum tangan besar itu menarik pergelangan tangannya dan membawa tubuhnya keluar dari ruangan serba putih itu.
Kamboja tak tau bagaimana ia akan membayar administrasi rumah sakit ini. Tapi hal itu sepertinya sudah di bereskan oleh Adam. Adam memang laki-laki yang baik. Ia harus membalas kebaikannya.